Politik Kayu Jati

Heru Harjo Hutomo
5 Min Read
"Klambrangan," 60x90 cm, Akrilik di atas kanvas (Heru Harjo Hutomo, 2017)
"Klambrangan," 60x90 cm, Akrilik di atas kanvas (Heru Harjo Hutomo, 2017)

jfId – Kejujuran, kita tahu, tak sekedar soal tak berdusta. Ada yang lebih kompleks dari itu. Menjadi jujur berarti juga menjadi otentik, menjadi diri sendiri, apa adanya kita, yang seturut gelegak jiwa kita, hati nurani kita, yang semestinya kita. Seperti pokok jati yang pantang kalepyan lingkungannya yang kering dan tandus, manusia otentik pun tak gampang untuk terarus. Ia senantiasa punya sikap, punya pendirian sendiri.

Tapi kita semua mafhum, menjadi jujur, menjadi otentik, menjadi diri sendiri, tak semudah mengedipkan kelopak mata. Dalam kenyataannya, orang sering berbenturan dengan hal-hal yang membuat kejujuran itu serasa musykil—atau bahkan usang—untuk ditunaikan.

Pada masa sekarang seumpamanya, di mana pengaruh media massa dan konsumerisme telah sedemikian rupa mendominasi kehidupan manusia, tak mudah rasanya menjadi diri kita seperti apa adanya, sebagaimana yang kita kehendaki. Kalau tak ingin disebut kuno, ndesa, utun, mau tak mau kita mesti bertopeng, bermain citra, kalap tenggelam ke dalam arus pusaran zaman. Kita dibentuk, dibonsai, dikemas sedemikian rupa untuk menjadi diri yang bukan diri kita yang sesungguhnya.

Sebagaimana kebudayaan kita di hari ini, dari berbagai bidang kehidupan—agama dan politik—tampak sekedar karnaval akan hal-hal yang cepat ramai sekaligus hilang. Sesuatu ataupun seseorang seakan hanya tampil sebagai “figuran” yang tak pokok bagi keseluruhan adegan, seperti seorang round girl yang berbusana sehelai benang (thong) yang menyedapkan pandangan di tengah pertandingan tinju atau MMA. Beberapa waktu lalu marak para ustadz yang menyesaki ruang publik, dengan mental wani wirang yang luar biasa, tak dapat mengaji secara benar tapi sudah bernyali membuat fatwa, atau seseorang yang baru satu minggu memeluk agama Islam tapi sudah diberi ruang untuk mengatur orang.

Demikian pula dalam bidang politik praktis yang barangkali sejak fenomena masyarakat tontonan menjadi penanda zaman (Kelam Zaman Masyarakat Tontonan, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org), begitu banyak politisi karbitan yang seperti sekedar jual tampang dan gagasan yang mengambang, tak memiliki akar sejarah dan budaya, hirau akan prinsip autochthony (Semar dan Paradigma Autochthony, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id/webdev), di mana sekali gebrak langsung tumbang. Barangkali inilah salah satu kelemahan partai-partai politik di Indonesia di mana demi sumber finasial dan pendulangan suara secara tak terbatas, melonggarkan sistem kaderisasi yang pada akhirnya akan membuat partai itu sendiri seolah sebuah pabrik yang fungsinya sekedar memproduksi dan menjual barang yang asal laku (Politik Tahu Diri: Tentang Kemungkinan Membudayakan Kontrak Politik, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id/webdev). Dan seringkali bukanlah kiprah, kinerja dan gagasan yang dijadikan sumber penilaian, tapi rumor-rumor di sekitar kehidupan pribadi mereka yang mengundang penasaran yang dijadikan pertimbangan (Era “Klambrangan”,  Era Desas-desus, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id).     

Di pedesaan terdapat sebuah filosofi dari kayu jati, di samping ia dapat tumbuh menjulang tanpa terpengaruh oleh lingkungan, semakin tua justu ia akan semakin larang. Dengan demikian, sangat bertolak-belakang dengan trend dan kebiasaan masa sekarang yang cenderung memilih bonsaian, sekedar enak dipandang tapi tak dapat digunakan.

Tapi memang, terkadang, untuk membuat laku suatu produk rokok di pinggir jalan seumpamanya, orang membutuhkan seorang sales promotion girl yang ayu dan rupawan untuk sekedar rokoknya dipandang. Di sinilah Jean-Jacques Baudrillard mengetengahkan nilai seduktif yang lekat dengan nilai prestige yang menandai kebudayaan kontemporer. Suatu barang di era sekarang tak semata memiliki dan ditentukan oleh nilai fungsionalnya, tapi lebih dari itu, nilai gengsinya. Dus, ketika seseorang memiliki barang tersebut, secara simbolik, statusnya akan terangkat, tak peduli bahwa secara fungsional, misalnya, sebungkus rokok kretek Djarum 76 sama saja dengan sebungkus Marlboro. Alih-alih pandangan awam yang menyatakan bahwa selera tak dapat diperdebatkan (Intertonikalitas Perihal Awal Sekaligus Akhir Musik, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id), Baudrillard justru menyatakan bahwa ternyata ia hanyalah hasil bentukan.

Tapi walau bagaimana pun, tak peduli polesan kekinian, seperti halnya pokok jati yang lebih dari sekedar bonsai, permintaan terhadapnya masih tetap tinggi, semakin tua semakin diminati.

(Heru Harjo Hutomo/ penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik)

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article