Pilkada 2020: “Asu Gedhe Menang Kerahe, Semut Musuh Gajah”

Herry Santoso
3 Min Read

jfID – ADA pepatah Jawa yang acap dijadikan “pakem” dalam setiap kali terjadi pesta demokrasi atau pemilihan umum, baik itu pilpres, pileg, maupun pilkada. Pepatah itu berbunyi Asu gedhe menang  kerahe (anjing besar selalu menang dalam pertarungan). Hal tersebut sudah menjadi rumus bahkan falsafah di tengah masyarakat Jawa terutama setiap kali menjelang pesta demokrasi (pemilu). 

Permasalahannya adalah siapa yang jadi “asu gedhe” dan siapa pula yang dikonotasikan sebagai “asu cilik”. Dalam terminologi politik sudah tentu  partai yang didukung koalisi banyak partai dan didukung oleh kekuasaan yang akan memenangi kontestasi politik. Sebab mereka selain punya banyak konstituen di lapisan grass roots sekaligus punya mesin partai yang bertenaga besar. Ini dalam hitungan matematis.

Semut musuh Gajah

Tetapi jangan lupa,  dalam sisi berbeda ada pepatah lain yang belakangan dalam menjelang Pilkada 2020 sanggup mematahkan adagium lertama yaitu semut musuh gajah, yang banyak kenyataan si kecil (semut) semut mampu menumbangkan gajah yang besarnya jutaan kali lipat darinya. 

Filsafat tersebut memberikan makna bahwa, jika rakyat bersatu pasti mampu menumbangkan besarnya sebuah kekuasaan (if the small people unite will be able to subvert the amount of power).

Fenomena terakhir sudah terbukti tatkala digelar pilkada di Makassar, paslon tunggal Munaffri Arifuddin-Rachmatika Dewi, tumbang oleh bumbung kosong. Ini sangat menarik dalam sejarah perpolitikan di Indonesia lantaran paslon tunggal yang tumbang di Kota Angin Mamiri tersebut justru dari keluarga mantan wapres Yusuf Kalla. Untuk itu pepatah yang menyatakan Asu gedhe menang kerahe tidak selalu mutlak jebenarannya.  Semut musuh gajah ternyata menang semut !

Di Pilkada 2020 ada beberapa kabupaten/kota yang paslon tunggal misalnya Kota Surakarta (Solo),  Kabupaten Blitar ( Rijanto-Marhaenis), dan Kabupaten Kediri (Dhito-Dewi Maria Ulfa) yang semuanya diusung PDI-P. Di atas kertas kedua pasangan tersebut  akan memenangi pilkada di daerahnya. Sungguh pun demikian, semua tiket kekuasaan berada di tangan rakyat. Rakyat yang “punya gawe”  bukan paslon, dan rakyat pula yang menentukan. Merujuk pilkada Makassar jangan-jangan rakyat (semut) lagi yang akan memenangi si gajah ? Jika itu referensinya maka jawabnya adalah : Wallahu’alam bizawab. Bukankah begitu ? Hehe…***

Herry Santoso, pemerhati sosial politik dan budaya, seorang junarlis aktif, tinggal di Blitar, Jawa Timur

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article