“Menyepi” di Bukit Teletubis Cara Unik Hindari Covid 19

Herry Santoso
3 Min Read
Marinda (26 tahun) warga Surabaya yang menyepi di bumi Teletubis Ngelegok Blitar (foto: Herry Santoso)
Marinda (26 tahun) warga Surabaya yang menyepi di bumi Teletubis Ngelegok Blitar (foto: Herry Santoso)

Laporan : Herry Santoso

jfID – DENGAN membawa bekal dan peralatan seadanya, beberapa orang melakukan ritual “menyepi”.

“Mereka itu bukan orang sembarangan, tetapi orang kaya dari kota. Kedatangannya ke lembah Teletubis hanya untuk menghidari wabah Covid 19. ” ujar Sugeng (43), seorang tokoh pemuda yang bermukim di dekat kawasan terpencil itu.

Kondisi alamnya yang terkucil dan masih perawan menjadi incaran orang untuk menyepi (menyendiri).

“Semua, saya tinggalkan. Kami cuma membawa peralatan masak, tenda, dan lilin untuk penerangan di malam hari. Ponsel pun nggak berfungsi, ” tutur Gunawan (31) yang datang dari Kota Surabaya pada jfID.

Hanya Cari Selamat

Mereka datang cuma berdua, dengan Marinda (26) istrinya.

Perempuan cantik itu dulu sebagai teman kuliah di Universitas Airlangga, Surabaya.

“Yang penting bawa seperangkat alat sholat, soal makan seadanya. Pokoknya kita belajar back to natural, atau kembali ke alam, ” ujar Gunawan. Sungguhpun ia WNI keturunan, tetapi pemeluk islam yang taat.

“Kami sengaja menghindari hiruk pikuk kota yang membisingkan yang telah terpapar Covis 19. Tidak lebih, ” imbuh Marinda, sang istri sambil menjerang air untuk membikin wedang jahe.

Lembah Teletubis

Lembah sapi rubuh sendiri terletak di Desa Sumberasri, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar. Ia merupakan lembah di ketiak Kelud.

Udaranya sejuk. Tidak ada permukiman warga kecuali ladang-ladang milik penduduk di hamparan lembah yang hijau. Untuk sampai di tempat itu, dari Pasar Beringin, Sumberasri mengikuti lereng jalan ke Kampunganyar sejauh sekitar 4,5 km. Pada musim penghujan seperti saat ini cukup banyak air bersih yang laik minum meski tanpa dimasak sekali pun. Udaranya sejuk dan segar dalam ketinggian sekitar 412 meter dpl.

“Kalau malam hari baru terasa sepinya. Seolah hidup di zaman batu, hehe…” kata Marinda sembari terkekeh.

Ketika ditanya apakah menjadi jaminan bahwa hidup di “penyepen” seperti itu bebas dari Covid 19.

“Penyebaran virus itu lantaran kontak langsung antar manusia, ” akunya optimis. Dan ketika ditanyakan bagaimana untuk menenuhi bahan makan dengan gizi cukup, laki-laki yang punya bisnis property lumayan sukses itu mengaku setiap dua hari sekali ke pasar desa mencari kebutuhan pangan, di samping mereka sendiri membawa perbekakan yang cukup.

“Yang penting bagi kami sayur, buah, dan beras atau roti. Itu saja cukup,” pungkasnya mengakhiri perbincangan dengan jfID.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article