Mbah Sodrun

Herry Santoso
8 Min Read
Gambar ilustrasi orang lanjut usia atau mbah-mbah (foto: kompasiana.com)
Gambar ilustrasi orang lanjut usia atau mbah-mbah (foto: kompasiana.com)

jfID | BEGITU keluar dari kantor pos, wajah Mbah Sodrun tampak sumringah. Ia segera mendekati sepeda onthel yang tersandar di bawah pohon kersen yang ada di depan kantor itu. Sekali-sekali wajah orang tua itu pun mendongak ke atas, seolah mengamati cuaca yang kurang bersahabat di penghujung musim. Ada mendung hitam  bergayut di angkasa, menandakan kemungkinan sebentar lagi akan turun hujan. Orang tua yang rambutnya bagaikan kapas itu pun tersenyum seolah memamerkan gusinya yang menghitam tanpa gigi yang tertinggal satu pun di sana. Mbah Sodrun sangat bahagia pagi itu. Dikayuhnya sepeda Gazelle di jalan hotmix sembari bersiul mendendangkan langgam Yen ing Tawang Ana Lintang. Kebahagiaan itu bukan tanpa sebab, gaji pensiunannya baru saja ia terima. Utuh tanpa potongan sepeser pun. Dengan begitu, ia bisa menanam jagung hibrida sesampainya di rumahnya nanti. Biibitnya ia dapat dari koperasi kelompok tani. Mbah Sodrun sungguh bejo meski tanpa anak-bini ia hidup bahagia dalam kebersahajaan di masa tuanya. Dulu, ia memang pernah jatuh hati dengan kembang di desanya, Nasyiatul. Di atas sadel sepeda Gazelle itu pula sang pujaan hati pernah bertengger sembari bercandaria. Namun sayang, manusia hanya bisa merekayasa, sedangkan keputusan akhir mutlak milik Illahi. Nasyiatul akhirnya menikah dengan Banjar, pegawai pegadaian dan ikut serta pindah ke Kalimantan, hingga kini. Sepeda onthel itulah satu-satunya prasasti yang menjadi saksi bisu : ada kenangan manis yang menempel di kereta angin itu…

Mbah Sodrun tergagap dari lamunannya. Mendung di langit semakin pekat. Ia serta-merta bergegas mengayuh sepedanya itu kuat-kuat agar segera sampai di rumahnya. Bibit jagung hibrida yang ia jemur di halaman rumahnya takut hancur karena kehujanan. Mbah Sodrun  pun berpacu dengan hujan yang benar-benar mulai jatuh. Padahal perjalanannya pulang masih lumayan jauh sekitar 2 km lagi untuk tiba di kediamannya. Itu pun masih harus melewati bulak panjang di antara kebun tebu milik warga.

Di tengah kegalauannya itu sekonyong-konyong dari arah depan meraung-raung sepeda motor,  membisingkan. Anehnya lagi, sepeda motor itu pun langsung memotong laju sepeda Mbah Sodrun. Kontan hati orang tua itu nratab jangan-jangan ia dibegal di tengah jalan. Lebih-lebih setelah dua nom-noman bertubuh kekar dan bertato  turun mendekatinya. Orang tua itu pun  undur selangkah mengambil sikap kuda-kuda. Jurus-jurus silat Tapak Suci yang pernah ia pelajari Gus Lutvi, seketika terngiang kembali muncul di benaknya, namun Mbah Sodrun tertegun saat pemuda aneh itu maju sambil sambil terbungkuk-bungkuk santun, Mvah Sodrun tertegun. Diajaknya lelaki tua itu bersalaman. Diciuminya tangannya yang keriput, Mbah Sodrun benar-benar _kepincut_ akan budi baiknya.

“Lho, Anda siapa? ” tanya Mbah Sodrun masih termangu-mangu.

“Mohon maaf dan patut diketahui, kami ini mantan siswa Bapak di Es-de dulu. Bapak bernama Sodrun kan?  Saya Budi dan teman saya ini Eko, Pak…”

“Ya Tuhan….?” kata Mbah Sodrun terpana, “Lantas kalian mau ke mana, Nak? ” tanya Mbah Sodrun setelah reda dari rasa cemasnya.

“Kami mau sowan ke rumah Bapak…”

“O-o…tapi…tapi….” Mbah Sodrun gugup, karena Hujan benar-benar turun dengan derasnya. “Tapi saya masih di sini dan eh saya tadi menjemur bibit jangung hibrida di…di halaman. Waduh, _cilakak,_ gimana, ya….” ujarnya semakin panik. Kedua mantan siswanya itu pun saling berpandangan sebelum berkata, “Begini saya Pak, mari Bapak saya antar lebih dulu dengan motor ini, sementara biar teman saya ini yang menaiki sepeda Bapak…! Sungguh, eman  lho Pak, bibit jagung itu…! Mari, Pak, sebelum terlambat dan bibit itu hancur karena hujan ! ” ajak muridnya tak kalah panik. Mbah Sodrun sejenak termangu.

“Ya, ya, ya !  Wah….ini saya malah merepotkan kalian jadinya, Nak….!” lanjut orang tua itu sambil naik ke atas sadel motornya. 

“Hati-hati ya Nak, saya tunggu di rumah, kami duluan, lho, ya ! ” pesan Mbah Sodrun pada muridnya yang menaiki sepeda onthel itu.

Bagaikan kesurupan segera dicacunya sepeda motor itu di jalanan. Berebut lebih dulu dengan hujan yg kian memburunya dari arah belakang. Tetapi sungguh sial, menjelang rumah Mbah Sodrun, tiba-tiba mesin sepeda motor itu mati.

“Waduh, Pak, mati….” kata muridnya yang tengah memboncengnya.

“Terus bagaimana ini Nak? ” tukas Mbah Sodrun ndak sabar. Muridnya dengan terampil memeriksa kendaraannya itu. Hujan benar-benar bagaikan tumpah dari langit. Mengguyur kuyup tubuh keduanya.

“Ya ampuuun, mohon maaf Pak….bensinnya  kering, ternyata….” ucapnya pelan penuh penyesalan dan dengan tubuh menggigil kedinginan.

“Lalu bagaimana ini?  Bukankah temanmu tadi sudah menunggu di rumah? ” ujar Mbah Sodrun tergetar. Bibirnya membiru dan jemari tangannya tampak kian mengeriput.

“Begini saja, Pak….” kata muridnya, “bapak tunggu  di sini sejenak. Silakan berteduh di bawah pohon asam itu, saya _tak_ menuntun motor mencari bensin di permukiman terdekat. Kasihan teman saya tadi, mungkin sudah lama menunggu karena lewat jalan pintas….”  imbuhnya. Mbah Sodrun mengangguk. Mantan muridnya itu pun bergegas menuntut motornya mencari bensin ke perkampungan terdekat di depan sana. Mbah Sodrun kian menggigil. Hujan belum juga reda. Ditunggunya mantan siswanya itu beberapa saat lamanya namun tak kelihatan batang hidungnya.

Mbah Sodrun mulai cemas ketika hujan telah reda, dan matahari pin kembali menampakkan sinarnya. Di antara puncak kecemasannya itu dari kejauhan tampak sebuah mobil. Ada secercah harapan di hati Mbah Sodrun, seraya Ia pun  melompat ke tengah jalan. Menyetopnya.

” Lho Mbah, kok panjenengan ada di sini!  Apa yang terjadi?” teriak si pengendara itu,Ternyara ia Pak Herry-Camat yang baru pulang dari rapat. Mbah Sodrun pun  dengan setengah menggigil menyeritakan kejadian yang baru saja dialaminya. Suara terdengar parau, bibirnya gemetar, ia pun mengangis tersedu.

“Wah…. panjenengan tertipu Mbah….” hanya itu yang keluar dari bibir Pak Camat. Selebihnya Mbah Sodrun lunglai. Padahal di tas miliknya tadi terdapat uang pensiunan yg masih utuh di anflop, buku tabungan, kartu pensiun, dan surat-surat penting lainnya. Bukan itu saja, sepeda _Gazelle_ itu satu-satunya barang berharga yang ia uri-uri selama hidupnya. Kini, ia tidak sempat berpikir tentang bibit jagung hibrida lagi. Senja pun mulai menua. Mentari  tergelincir di kaki langit. Mbah Sodrun tak bergeming sedikitpun kecuali airmatanya yang kian merembas deras….***

———————————————Catatan :

Sumringah = berbinar cerah

Nratab = tergetar

Bulak = padang luas tanpa penghuni

SLG,  November 2019 )

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article