S U M I

Rasyiqi
By Rasyiqi
15 Min Read

Cerpen: Herry Santoso

  "Tahi lalatmu itu adalah anugerah, Sumi. Diletakkan di tempat yang tepat. "  ujar Pardi. Kalau sudah mendengar rayuan suaminya seperti itu, Sumi paham. Namun dirinya seolah ingin lebih memahami pernyataan suaminya itu. Mengapa tepat ? Memangnya ada yang tak tepat di tempatnya ? Tanya Sumi dalam hatinya.
  "Tepat karena ketika dirimu tersenyum, ia memberikan kebahagiaan yang tak terkatakan. Dan itu yang membuatku menjadi giat dan bersemangat dalam bekerja. " imbuh suaminya dapat membaca pikiran Sumi, istrinya.
  "Ah, rayuanmu  selalu membara. Jangan-jangan itu cuma mengada-ada. Lalu berkah apa yang kita dapat dari sekadar tahi lalat ? " kini mata sumi memandang lurus suaminya yang  duduk di lincak bambu sembari mengamati tubuhnya.
  "Di antaranya sayur lodeh yang kamu buat itu selalu beraroma rindu. " lanjut Pardi.
  "Mbelgedhes" 
  "Sungguh. Dulu aku jatuh bangun mengejarmu juga karena tahi lalatmu itu, dan aku yang menang. Bukan Eko, Narko, Saidi, atau Si Herry !"
  Sumi menahan senyum.
  "Tidak usah kamu tahan senyumu Sumi, aku ingin menikmatinya dengan leluasa. "
  "Hahahaa....!" Sumi tergelak karenanya.
  "Kok ketawa ?"
  "Kamu sih, kayak di cerpen saja, hehee..."
  "Karena aku terpesona dengan kecantikanmu. Tahi lalat itu harta yang paling berharga bagimu, Sumi...." Pardi semakin gencar menyanjung istrinya, hingga Sumi mengambil sebutir lada  dan melemparkannya ke arah sang suami. Pardi berkelit dan biji lada itu hanya melesat di udara kosong dan mendarat di lantai. Laki-laki itu     bangkit dan beranjak mendekatinya serta-merta berdiri di belakang sang istri. Dipeluknya Sumi dari belakang dan diciumnya cuping perempuan itu hingga spontan ia menggelinjang. Kegelian.
  "Aku mau memasak nich, jangan goda aku, dong, Kang...," ucap Sumi membiarkan napas suaminya hanya mendengus-dengus  di rambutnya yang wangi.

                 ***

  ITULAH sebuah kenangan manis. Meski bersahaja memori itu terus membekas di hati perempuan paruh baya itu, sebelum ia meninggalkannya. Meninggalkan  tanah airnya,  Sumi ke Hongkong, sebagai pramuwiswa dan kini tengah berjuang melawan maut di Gleneagles Hongkong Hospital. Ia merupakan evakuasi terakhir dari keluarga Mr. Hwa Lung. Bahkan Lilia Lung istri majikannya, serta Anita Lung putrinya sama-sama dilarikan ke rumah sakit rujukan Covid 19 itu. Keluarga majikannya itu positif terpapar virus corona setelah pulang dari Shenzhen, sebuah kota industri di daratan Tiongkok. Sumi, sebagai pembantu rumah tangga di flat lantai 12 Distrik Kwun Tong itu baru merasakan masa inkubasi paparan virus mematikan tersebut tiga hari kemudian. 
  Ya, tiba-tiba tubuhnya terasa lemas menyusul demam tinggi hingga mencapai 39 derajad Celsius disertai batuk-batuk. Setelah demamnya mereda kini napasnya sesak  tersengal-sengal, dibarengi keringat dingin mengucur di sekujur tubuhnya. Kadangkala perutnya terasa nyeri dan diare, perempuan itu cuma bisa mendesis-desis sendirian di ruang isolasi. Dua botol infus bergelantungan di atasnya serta ujung selang mesin ventilator menusuk masuk melalui lubang hidungnya hingga ke tachrea, tetapi seolah tak berguna bagi Sumi karena tetap sesak napas dan hanya bisa merintih atau sesekali memanggil nama suaminya dengan erangan karena tak mungkin berteriak lantaran  terkungkung oleh selang mesin pernapasan itu. Ia benar-benar ketakutan di ruang isolasi yang lengang dan sunyi hanya dipantau oleh dua orang suster dengan pakaian APD, selebihnya adalah kesenyapan yang sempurna dan rasa sakit yang mendera, atau suara detak jantungnya sendiri dari elektrokardiogram yang terus bekerja  memompakan darah, bunyinya menyerupai lonceng kematian yang  menunggu.
  "Ya Allah...aku tidak takut mati jika memang itu kehendak-Mu, tetapi berilah aku kesempatan untuk meninggal di rumahku, di negaraku sendiri, Indonesia....." rintih Sumi sembari memegangi batang lehernya yang sepertinya dicekik oleh malaikat maut. Ia berusaha meraba ponselnya seraya mengapload Surat Jassin dari ponsel itu dan menyetelnya keras-keras.
    "Beri aku udara ya Allah....!" jerit Sumi sesekali hanya bergema di rongga dada tanpa ada petugas medis yang menghampirinya. Belum lagi tubuhnya yang sulit digerakkan membarengi pandangan mata yang mulai mengabur, kini tubuh Sumi menggigil kedinginan, selebihnya di sekelilingnya tampak gelap dan ia pun tak ingat apa-apa lagi.
  Ketika ia sadar, betapa terkejutnya lantaran ia telah berada di sebuah lorong yang gelap dan hanya ada sinar di  ujung kejauhan sana. Sumi berlari di lorong itu bahkan sesekali tubuhnya  mengapung sembari berenang di udara, akhirnya sampailah di ujung lorong yang menghadap ke sebuah dermaga.
  "Laut ?" batin Sumi tertegun. Di depannya tampak laut lepas. Banyak orang berjajar mengantre akan menaiki geladak sebuah kapal. Penampakan kapal besar itu cukup unik. Betapa tidak, ia bersayap juga bermata lebar sesekali mata kapal itu berkedip-kedip, lucu. Ia bersandar di dermaga itu menunggu penumpang. Orang-orang yang berseliweran, berjubel menenuhi dermaga itu, tapi anehnya tak satu pun yang mengeluarkan suara. Semua orang-orang itu diam. Tanpa keriuhan.
  "Bapak ...!" teriak Sumi tiba-tiba ketika matanya tertuju pada sosok lelaki di antara kerumunan massa itu. Ia yakin bahwa sosok itu ayahnya. Sumi samar-samar masih ingat  bahwa orang tuanya itu sudah lama meninggal dunia. Anehnya panggilannya yang  kuat dan berulang-ulang tak dihiraukannya, laki-laki itu cuma menoleh dengan ekspresi tak acuh.
  "Bapak....! Tolonglah lihat aku ! Aku Sumi, anakmu, Pak... !"  Sumi berteriak-teriak histeris tetapi orang tua itu tidak acuh bergegas menaiki tangga kapal bersama orang-orang yang semuanya berbusana serba putih laiknya pakaian ikrom. Sumi penasaran seraya mengejar ayahnya namun ketika tangannya nyaris menggapai sang ayah serta-merta ada  angin menghempaskannya kuat-kuat hingga ia jatuh terpelanting berguling-guling dengan kepala membentur emplasemen dermaga.
  Kepalanya terasa berat dan sakit sekali. Samar-samar terdengar olehnya suara mesin pendektesi jantung atau orang yang sedang berbicara dengan bahasa Kantonis.
  "Ia siuman. " katanya. 
 " Oh ya ?"
 " Detak jantungnya mulai normal, dan tensinya merambat naik, " imbuhnya.
"Awasi saja dengan saksama, pasien itu. "
 "Siap, Dokter. "
 Sumi menggeliat. Ada rasa haus yang amat sangat mendera kerongkongannya yang kering, nyeri seperti disayat,  namun dirasakannya pandangan matanya pun berangsur pulih meski masih sangat pening.
 "Anda siuman. Tenang jangan terlalu banyak bergerak. " ujar suster yang menjaganya. Sumi memberi isyarat kehausan, namun tak dihiraukannya. Ia berusaha bangkit tetapi suster itu memperingatinya dengan bahasa isyarat. Sekujur tubuhnya terasa kuyup bahkan  beberapa kali ia ngompol. Pelan namun pasti pening kepalanya mulai berkurang, juga nyeri di ulu hatinya, kini Sumi merasa lapar.
  "Bolehkah aku makan, Suster ?"   Sumi berisyarat lagi.
 "O-o, kamu sudah mulai lapar ya ? Sebentar ya, " balas suster yang merawatnya seraya berlari untuk menerima panggilan telepun. Entah apa yang dibicarakannya, tapi  tiba-tiba suster itu bergegas menghampiri Sumi dan bilang, "Hasil terakhir Swaw  Anda negatif !" hanya itu yang disampaikan yang kontan membuat Sumi terenyuh berlinang airmata. Ada rasa haru dan bersyukur ia melewati masa-masa kritis yang mencekam. 

                  ***

  "Ladies and gentlemen the Chatay Pasific plane will land at Juanda airport in Surabaya. Please wear a seat belt, thank you..."  ( Bapak dan Ibu pesawat Chatay Pasifik akan mendarat di Bandara Juanda Surabaya. Silakan mengenakan sabuk pengaman, terima kasih...). Sebuah pengumuman membuyarkan lamunan Sumi. Tampak dari kaca jendela hamparan kota Surabaya di bawah sana, dan pesawat pun mulai descending sampai akhirnya mendarat dengan sempurna di landasan pacu.
  Sumi sejenak termangu-mangu di peron arrival. Tidak seperti biasanya bandara itu tampak begitu lengang. Ia pun brrgegas menuju taxi away. Kepulangannya kali ini sengaja tidak memberi tahu lebih dulu pada keluarganya di rumah, ia ingin diam-diam tanpa sebuah kejutan karena dalam suasana keprihatinan di tengah pandemi Covid 19.Taksi yang ia naiki pun melaju di jalan tol. Mengantar Sumi mudik ke kampung halamannya siang itu. 
   Sesampainya di desanya orang-orang di sepanjang jalan tampak terlongong-longong ketika taksi itu berhenti tepat di gerbang desa. 
  Sumi keluar. Lagi-lagi ia termangu-mangu tetapi tak seberapa lama dua orang berseragam linmas bergegas menyongsongnya.
 "Sumi ?!" seru penjaga portal desa itu. 
 "Iya, aku, Lik, "  kata Sumi yang sudah kenal orang-orang itu.
 Aneh, kedua petugas keamanan itu malah saling berpandangan.
 "Lho, kok, bengong ? Ada apa, Lik ?"  Sumi heranan melihat gelagat dua orang itu.
  "Ayo, kita langsung ke balai desa, saja, Sum. Di sana ada Pak Kades, " ajaknya sambil mengangkat koper perempuan itu, sementara taksi balik lagi ke kota setelah menerima ongkosnya. Ketermanguan Sumi semakin menjadi-jadi setelah di hadapan perangkat desanya.
   "Sabar ya Sum..." Pak Kades mulai bicara, "kamu jangan langsung ke rumahmu dulu. Kamu harus menjalani isolasi  dulu, dan ...."
   "Dan saya paham Pak, " tukas Sumi. 
  "Maksudku bukan hanya itu, Sum, tapi...."
 "Tapi kenapa, Pak ?"
 Pak Kades tidak segera menjawab. Malah memanggil perangkat yang lain untuk menemani  duduk  di ruang tamu balai desa itu. 
   "Pak, sebenarnya ada apa sih, katakan terus terang apa yang terjadi ?" perasaan Sumi mulai tidak enak. Apalagi dua perangkat desa itu saling berpandangan sepertinya menyimpan sesuatu.
  "Begini, Sum, terpaksa saya harus mengatakan yang sebenarnya. Pardi, suamimu, telah....telah berpulang, meninggal dunia..."
  " Tidaaak....!" langsung Sumi  meraung di depan pamong desanya itu. Tangisnya pun  pecah meratapi  kepergian Pardi, sang suami, untuk selamanya....

                  ***

  SENJA kian menua ketika Sumi masih suntuk terpekur di atas makam suaminya. Airmatanya deras merembas jatuh di gundukan tanah merah yang masih basah itu. Tak dihiraukannya gerimis yang menerpa tubuhnya, Sumi terus menyatu dalam doa dan airmata. Tangan perempuan pun segera merogoh sesuatu dari tas yang dibawanya, seraya mengeluarkan t-shirt ekslusif warna biru. Sedianya kaos keren yang dibeli dari Huan Sie Departement Store Hongkong itu akan diberikan sebagai hadiah ultah suaminya, kini terpaksa diselimutkan pada batu nisan di hadapannya itu.
  " Kang Pardi..." bisik Sumi lirih,  terimalah hadiahku ini. Damailah kau di sisi Allah, Kang...." lanjutnya dalam isak yang memburu.
   "Bangkitlah Sum...ayo kita pulang, hari mulai petang..." sekonyong-konyong sebuah suara bergumam di belakangnya. Sumi kaget dan menoleh.
  " Mas Arief...?" teriaknya dalam sedu-sedan.
  " Ya, aku, Sum... Maafkan bila aku mengusik kekhusukanmu dalam berdoa. " kata laki-laki itu landai. "Sebenarnya  sudah semenjak tadi aku mengikutimu. " lanjutnya.
 " Oh ?"  Sumi tertegun. Ia merasa kikuk di depan putra Pak Kades itu.
   " Iklaskan kepergiannya Sum agar dia tenang di sisi-Nya. " ucap laki-laki itu lagi seraya membimbing tangan petempuan itu untuk berdiri dan meninggalkan pusara.itu.
  "Kenapa Mas Arif menyusulku ?" tanya Sumi sepulangnya dari makam. Keduanya berjalan beriringan menuju mobil Arief yang diparkir.di pinggir jalan.
   " Jujur aku ingin membalut  hatimu yang tergores lantaran kepergian suamimu. " suaranya begitu tenang terucapkan. "Dan, maaf kalau hal ini aku sampaikan di saat hatimu masih berduka..." lanjutnya. Sumi tak menimpali termasuk ketika Arief mempersilakan masuk ke mobilnya. Tampak olehnya senja jingga tersaput langit lembayung. Ada pelangi melengkung di kaki langit saat Sumi turun dari mobil itu menuju rumah isolasi.
   "Selamat istirahat Sum, semoga kamu sehat selama dalam isolasi..." ujar Arief. Sumi tidak menjawab. Entahlah mengapa ada riak kecil di  dasar dadanya saat mata  pemuda ganteng itu bersirobok dengannya...***

Blitar, 13 Juli 2020

Sekilas Tentang Penulis :
Nama : HERRY SANTOSO
Alamat : Jln. Abadi No.31 Nglegok, Blitar, Jawa Timur 66181, Hp. 081252065959
Email : [email protected]
Tahun 1990 mendirikan Sanggar Sastra ADINDA di Sumenep (saat jadi guru dan berdinas di sana). Aktif menulis cerpen, artikel (opini), dan novel / buku, hingga sekarang. Beberapa novel / bukunya diterbitkan : Demang Kolomayan ( dimuat Jawa Pos, 1990), Lembah-lembah Duka (Novel, 2000), Hujan Kepagian (Novel, 2004), Loji dan Kembang Kopi (Novel, 2006), Lies, di Matamu ada Tuhan (Novel, 2009), Cerita tentang Rani (Novel, 2018). Antologi Cerpen : Namaku Sukini_ (2004), Surat dari Rhiyaad (2005). Pernah jadi wartawan : Simpony, Swadesi, Sinar Pagi, dan (sekarang) Jurnalfaktual.id. Pensiun dari kepala sekolah dasar (SD) tahun 2017.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article