Membangun Bangsa Berwawasan Humanitas Melalui Kesenian

Tjahjono Widarmanto
6 Min Read
"The Unconcealed," 60x109 cm, Kapur di Atas Papan (Karya: Heru Harjo Hutomo)
"The Unconcealed," 60x109 cm, Kapur di Atas Papan (Karya: Heru Harjo Hutomo)

“Seandainya ada lebih banyak kaum politik memahami puisi, saya yakin,
dunia yang kita diami ini akan menjadi tempat yang lebih baik (John. F.Kenedy)

jfID – Sejak awal peradabannya, manusia menyakini bahwa kesenian memiliki peran penting dalam membangun sejarah peradabannya. Kesenian diyakini bisa mendampingi agama menyuarakan kebenaran Ilahiah yang hakiki. Peradaban yang tumbuh tanpa kesenian berarti sebuah peradaban yang tak bernurani, tak punya kebenaran. Melalui kesenianlah perasaan manusia dibangun dengan rajutan-rajutan benang kepekaan kemanusiaan. Kesenian mendorong manusia untuk berbuat lebih manusiawi, lebih memahami individu lain, lebih bijak memahami perbedaan, serta lebih peka melihat penderitaan orang lain.


Oleh karena itu tak berlebihan jika, di samping agama dan filsafat, kesenian punya peran penting untuk menumbuhkan dan membentuk jiwa kemanusiaan dalam diri manusia. Seperti dikatakan Aristoteles berabad-abad lampau, bahwa ada lima jalan yang bisa ditempuh manusia untuk mencari kebahagian hidupnya, yaitu religi (agama), filsafat, kesenian, ilmu pengetahuan, dan penderitaan.


Sebuah bangsa yang tak menempatkan kesenian pada ruang kehidupannya secara khusus, akan melahirkan manusia-manusia yang hidupnya cenderung berorientasi pada masalah kebendaan dan materiil. Menjadi pemburu yang segera lupa dengan kewajiban sosialnya sebagai suatu bangsa. Bahkan bisa tumbuh sebagai zombie yang tandus dengan rasa kemanusiaan, yang akan memangsa dan menindas manusia lain.


Perubahan kehidupan memang selalu berorientasi pada perbaikan tingkat hidup secara materiil, namun materi belaka bisa menggerus makna kehidupan. Perubahan akan menjadi sangat bermakna jikalau berbasis pada nilai dan rasa kemanusiaan: berpihak pada kemanusiaan! Perubahan bukanlah hanya bersandar pada elemen fisik belaka tetapi juga harus berangkat dengan elemen jiwa.


WR. Soepratman jauh-jauh hari mengingatkan bahwa kebangkitan peradaban sebuah bangsa haruslah dimulai dengan jiwanya. Baru setelah itu diikuti dengan bangunnya raga: bngunlah jiwanya, bangunlah badannya! Dalam khazanah kebudayaan klasik Jawa dikenal keharmonisan cipta, rasa, dan karsa. Keseimbangan antara daya kreatif, daya budi dan daya kehendak. Perpaduan wirasa, wirama, dan wiraga. Keserasian antara rasa, irama kehendak dan pencapaian fisik. Yang pada hakikatnya kesemuanya bermuara pada keseimbangan dan keselarasan elemen jiwa dan fisik.


Selama ini, kebanyakan dari kita, hanya memandang kesenian sebagai alat rekreasi atau penghibur belaka. Bahkan ada yang mengganggap kesenian hanya sebagai perbuatan iseng yang hanya pantas dilakukan oleh manusia-manusia iseng belaka. Cara pandang yang keliru ini mengakibatkan kesenian hanyalah sebagai komoditas belaka, yang hanya dianggap berguna bila dapat menghasilkan devisa dan pendapatan bagi pemerintah. Akibatnya, makna kesenian berikut fungsinya menjadi terkikis. Kesenian sebagai pilar kebudayaan tak lagi dimaknai sebagai salah satu pintu untuk membangun jiwa, membentuk pekerti dan meneguhkan karakter. Kesenian dicabut dari aspek filosofinya sebagai alat aktualisasi dan artistik manusia Indonesia.
Cara pandang keliru dan dangkal tersebut, melahirkan pula kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak pada perkembangan eksistensi kesenian. Walau nyata-nyata UUD 945, melalui pasal 32 Bab XIII menegaskan bahwa upaya pengembangan kesenian juga menjadi tanggung jawab pemerintah, namun dalam kenyataannya upaya-upaya pemerintah untuk mengembangkan kesenian masih jauh panggang dari api.


Kita yang selama ini memitoskan diri sebagai bangsa yang berkebudayaan tinggi bahkan adiluhung, ternyata tidak pernah memiliki strategi kesenian yang tepat untuk mengembangkan kesenian, bahkan tak bisa mengembangkan dan meningkatkan apresiatornya. Kita hanya mempunyai sedikit perguruan tinggi seni, bahkan di tingkat SMP dan SMA/SMK, kita nyaris tak mempunyai sekolah khusus kesenian. Kurikulum SMP dan SMA umum hanya memberikan porsi 2 jam untuk pendidikan kesenian dalam satu semesternya. Bahkan di SMK tak dijumpai mata pelajaran kesenian. Perhatian yang mnimal ini tentu saja tak bisa menghasilkan pengembangan apresiasi kesenian yang memadai dalam masyarakat.


Akhir-akhir ini, bangsa kita mengalami berbagai macam krisis. Yang paling memprihatinkan adalah krisis kemanusiaan. Berabad-abad lamanya, kita pernah dimitoskan sebagai bangsa yang lemah-lembut, toleran, menjunjung tinggi kemanusiaan, namun akhir-akhir ini sepanjang hari kita dibenturkan dengan kenyataan bahwa kita telah menjadi bangsa anarkis, pemberang, pemaki, penghasut, tukang fitnah, intoleran, haus darah, perkelahian antar warga, perkelahian siswa dan tak peduli dengan penderitaan orang lain.
Siapakah yang bisa menolong kita dari krisis kemanusiaan ini? Kapan kita kembali menjadi manusia yang utuh nilai kemanusiaannya? Apakah kemajuan teknologi yang akan menolong kita? Ilmu pengetahuankah?


Ternyata keajuan teknologi dan puncak-puncak pengetahuan tidak berdaya menghadapi krisis kemanusiaan ini. Kita harus berpaling kembali pada dunia kesenian untuk mendampingi agama untuk mengasah kembali jiwa dan perasaan kemanusiaan kita.


Untuk itu, kesenian harus dipandang kembali utuh dengan sisi filosofinya, kemudian diterjemahkan dalam bentuk strategi kesenian yang tepat dengan tidak melupakan matra-matra kesenian atas seni yang art, kria (craft), dan kitsch (ertertaimen/hiburan), sehingga tidak mencampuradukan untuk menghindarkan distorsi pengertian yang berakibat tak menguntungkan pada pembinaan kesenian. Dengan meletakkan kembali posisi kesenian sebagai sebuah wacana yang strategis dalam menciptakan manusia yang utuh, kita bisa berharap untuk dapat kembali menjadi bangsa yang berkemanusiaan. Semoga.***

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article