jfid – Beras adalah makanan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Namun, siapa sangka bahwa di negeri yang dikenal sebagai lumbung padi Asia Tenggara ini, beras menjadi barang langka dan mahal. Bahkan, beberapa ritel modern mulai membatasi jumlah beras yang boleh dibeli oleh konsumen. Apa yang terjadi?
Stok Beras Menipis
Salah satu penyebab kelangkaan beras adalah menipisnya stok beras di Perum Bulog, lembaga pemerintah yang bertugas mengelola cadangan beras nasional. Menurut data Bulog, stok beras per akhir September 2023 hanya mencapai 1,2 juta ton, jauh di bawah standar operasional minimal yang ditetapkan sebesar 2,5 juta ton.
Stok beras Bulog menurun akibat rendahnya serapan beras dari petani. Pada tahun 2023, Bulog hanya mampu menyerap 1,4 juta ton beras dari target 4 juta ton. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
Harga pembelian Bulog yang tidak kompetitif dibandingkan dengan tengkulak atau pedagang lain. Bulog membeli beras dengan harga Rp 8.100 per kilogram untuk kualitas medium dan Rp 9.450 per kilogram untuk kualitas premium. Sementara itu, harga pasar beras medium berkisar antara Rp 11.000 hingga Rp 12.000 per kilogram dan harga beras premium mencapai Rp 14.000 per kilogram.
Kurangnya fasilitas dan infrastruktur penunjang, seperti gudang, alat pengering, dan transportasi. Bulog mengaku kesulitan menjangkau daerah-daerah terpencil yang menjadi sentra produksi beras.
Cuaca ekstrem yang mengganggu produksi padi. Banjir, kekeringan, dan hama menjadi ancaman bagi petani padi di berbagai wilayah. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memperkirakan bahwa musim hujan tahun 2023 akan lebih tinggi intensitasnya dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Impor Beras Jadi Solusi?
Untuk mengatasi kelangkaan beras, pemerintah mengambil langkah kontroversial yaitu membuka keran impor beras. Melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag), pemerintah secara resmi telah menerbitkan izin mengenai impor beras sebanyak 500.000 ton dan akan diberikan kepada Perum Bulog.
Keputusan ini menuai kritik dari berbagai pihak, terutama dari kalangan petani dan pengamat pertanian. Mereka menilai bahwa impor beras tidak hanya merugikan petani lokal, tetapi juga menunjukkan ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola ketahanan pangan nasional.
“Indonesia seharusnya bisa mandiri dalam produksi beras. Kita punya lahan yang luas, iklim yang cocok, dan sumber daya manusia yang banyak. Impor beras adalah sebuah ironi di negeri lumbung padi,” kata Andi Prasetyo, seorang petani padi di Indramayu.
Menurut Andi, impor beras akan membuat harga beras lokal semakin anjlok karena persaingan dengan beras impor yang lebih murah. Padahal, biaya produksi padi di Indonesia cukup tinggi karena ketergantungan pada pupuk subsidi, benih unggul, dan irigasi.
“Kalau harga jual beras rendah, kami tidak bisa balik modal. Apalagi kami juga harus bayar utang kepada tengkulak atau koperasi. Kami merasa tidak dihargai sebagai produsen pangan utama di negeri ini,” ujar Andi.
Sementara itu, Dr. Rina Oktaviani, seorang pengamat pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB), mengatakan bahwa impor beras bukanlah solusi jangka panjang untuk mengatasi kelangkaan beras. Ia menyarankan agar pemerintah lebih fokus pada peningkatan produktivitas dan kesejahteraan petani.
“Kita harus memperbaiki sistem manajemen stok beras, mulai dari hulu hingga hilir. Kita harus memberikan insentif kepada petani agar mau menjual berasnya ke Bulog dengan harga yang wajar. Kita juga harus meningkatkan kualitas beras lokal agar bisa bersaing dengan beras impor,” tutur Rina.
Rina juga mengkritik kebijakan pemerintah yang terkesan reaktif dan tidak konsisten dalam mengatur impor beras. Ia mencontohkan bahwa pada awal tahun 2023, pemerintah mengumumkan bahwa tidak akan ada impor beras karena stok beras masih cukup. Namun, beberapa bulan kemudian, pemerintah berubah pikiran dan mengizinkan impor beras.
“Kebijakan impor beras harus didasarkan pada data dan analisis yang akurat dan transparan. Kita tidak bisa mengandalkan perkiraan atau asumsi semata. Kita juga harus memperhatikan dampak sosial dan ekonomi dari impor beras, terutama bagi petani dan konsumen,” tegas Rina.
Beli Beras Kini Dibatasi, Bagaimana Nasib Konsumen?
Di tengah kelangkaan dan kenaikan harga beras, konsumen pun merasakan dampaknya. Beberapa ritel modern mulai membatasi jumlah beras yang boleh dibeli oleh konsumen. Berdasarkan pantauan Bisnis.com di gerai Super Indo wilayah Bogor, Selasa (3/10/2023), setiap konsumen hanya bisa membeli 2 pak beras per hari.
Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya penimbunan atau spekulasi beras oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Selain itu, pembatasan pembelian beras juga bertujuan untuk menjaga ketersediaan beras bagi konsumen lain yang membutuhkannya.
Namun, kebijakan ini tentu saja menimbulkan ketidaknyamanan dan kekhawatiran bagi konsumen. Mereka khawatir bahwa stok beras akan semakin menipis dan harga beras akan semakin melambung. Mereka juga khawatir bahwa kualitas beras akan menurun karena adanya campuran beras impor atau bahkan beras sintetis.
“Kalau beli beras dibatasi, gimana kami mau makan? Kami kan butuh beras setiap hari. Apalagi kami punya anak-anak yang masih kecil. Kami takut mereka kekurangan gizi,” kata Siti Aminah, seorang ibu rumah tangga di Bogor.
Siti mengaku bahwa ia harus menghemat pengeluaran untuk membeli beras karena harga beras terus naik. Ia juga harus lebih selektif dalam memilih beras karena banyak beredar isu tentang adanya beras sintetis yang berbahaya bagi kesehatan.
“Kalau bisa, kami minta pemerintah segera menyelesaikan masalah ini. Jangan sampai kami sebagai rakyat kecil yang jadi korban. Kami hanya ingin hidup tenang dan sejahtera dengan makanan pokok yang cukup,” harap Siti.