jfid – Rusia dan negara-negara Baltik (Estonia, Latvia, dan Lituania) tengah berseteru karena masalah monumen. Bukan monumen sembarangan, melainkan monumen yang mengenang peran Tentara Merah Soviet dalam memerangi Nazi dan fasisme di Eropa.
Bagi Rusia, monumen-monumen tersebut adalah simbol kejayaan dan pengorbanan mereka dalam Perang Dunia II. Bagi negara-negara Baltik, monumen-monumen tersebut adalah lambang penjajahan dan penindasan yang mereka alami selama berada di bawah kekuasaan Soviet.
Perseteruan ini memuncak pada bulan Februari 2024, ketika Rusia memasukkan sejumlah pejabat tinggi dari negara-negara Baltik ke dalam daftar pencarian orang (DPO) karena “penodaan memori sejarah” dengan merobohkan monumen-era Soviet.
Di antara nama-nama yang masuk dalam daftar DPO tersebut adalah Perdana Menteri Estonia Kaja Kallas, Menteri Luar Negeri Estonia Taimar Peterkop, Menteri Kebudayaan Lithuania Simonas Kairys, Menteri Kehakiman Latvia Inese Libina-Egnere, dan Menteri Keuangan Latvia Arvils Aseradens.
Tindakan Rusia ini menuai kecaman dan protes dari negara-negara Baltik, yang menganggapnya sebagai taktik menakut-nakuti dan intimidasi.
Mereka juga menegaskan bahwa mereka berhak untuk menentukan nasib monumen-monumen di wilayah mereka sendiri, sesuai dengan nilai-nilai demokrasi dan kedaulatan.
Selain itu, mereka juga mendapat dukungan dari Uni Eropa (UE) dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), yang menganggap tindakan Rusia sebagai pelanggaran terhadap hukum internasional dan kedaulatan negara.
Lalu, apa sebenarnya yang melatarbelakangi perseteruan ini? Apa dampaknya bagi hubungan antara Rusia dan negara-negara Baltik, serta bagi stabilitas dan keamanan kawasan Eropa? Dan bagaimana respons dari pihak-pihak yang terlibat atau berkepentingan dalam isu ini?