jfid – Laut Merah, sebuah jalur perairan strategis yang menghubungkan Timur Tengah dengan Afrika dan Eropa, kini menjadi medan pertempuran antara Amerika Serikat (AS) dan Iran.
Di balik konflik ini, ada isu Palestina yang memanas dan ancaman penutupan Selat Gibraltar yang bisa mengganggu perdagangan global.
AS, yang mendukung Israel dalam serangan brutalnya terhadap Jalur Gaza, pekan ini membentuk koalisi internasional untuk mengamankan Laut Merah dari serangan drone dan rudal yang dilancarkan oleh kelompok Houthi Yaman, yang didukung Iran.
Koalisi ini, yang dinamai Operasi Penjaga Kemakmuran, melibatkan sejumlah negara sekutu AS, seperti Inggris, Prancis, Italia, Spanyol, dan lain-lain.
Namun, koalisi ini tidak mendapat sambutan hangat dari negara-negara lain yang beroperasi di Laut Merah. Beberapa di antaranya menolak bergabung atau hanya memberikan dukungan simbolis.
Alasannya, mereka tidak ingin terlibat dalam konflik yang dipicu oleh kebijakan AS yang pro-Israel dan anti-Iran.
Di sisi lain, Iran, yang memimpin koalisi regional yang disebut Poros Perlawanan, memberikan peringatan keras kepada AS dan sekutunya.
Iran mengklaim bahwa AS dan sekutunya “terjebak” di Laut Merah dan harus bersiap menghadapi penutupan saluran air yang membentang hingga gerbang barat Laut Mediterania, yaitu Selat Gibraltar.
Selat Gibraltar adalah jalur sempit yang menghubungkan Laut Mediterania dengan Samudra Atlantik.
Selat ini memiliki peran penting dalam perdagangan global, karena menjadi pintu masuk dan keluar bagi kapal-kapal yang berlayar dari dan ke Eropa, Afrika, dan Timur Tengah.
Jika selat ini ditutup, maka akan berdampak besar bagi perekonomian dunia.
Bagaimana Iran bisa menutup Selat Gibraltar? Menurut Kepala Staf Korps Garda Revolusi Islam Iran (IRGC) Mohammad Reza Naqdi, Iran memiliki kekuatan perlawanan baru yang akan muncul di wilayah tersebut.
Naqdi tidak menjelaskan secara rinci apa kekuatan itu, tetapi ada kemungkinan bahwa Iran akan menggunakan sekutu-sekutunya di Afrika Utara, seperti Maroko dan Aljazair, untuk mengancam keamanan selat tersebut.
Iran juga memiliki kekuatan lain yang bisa mengganggu jalur perairan lainnya, seperti Teluk Persia, Selat Hormuz, dan Selat Bab al-Mandab.
Iran telah menunjukkan kemampuannya dalam menghentikan aliran minyak dari Timur Tengah dengan menargetkan kapal-kapal tanker di Teluk Persia dan Selat Hormuz.
Iran juga mendukung kelompok Houthi yang mampu menyerang kapal-kapal di Laut Merah dan Selat Bab al-Mandab.
Dengan demikian, Iran memiliki kartu as yang bisa digunakan untuk mengimbangi tekanan AS dan sekutunya.
Iran juga memiliki motif yang kuat untuk melawan AS dan Israel, yaitu mendukung perjuangan rakyat Palestina yang menjadi korban kekejaman rezim Zionis.
Iran menegaskan bahwa tidak akan diam melihat kejahatan yang terjadi di Gaza dan akan terus mendukung Hamas, Hizbullah, dan kelompok perlawanan lainnya.
Apakah AS dan sekutunya akan menghadapi tantangan Iran dengan serius? Ataukah mereka akan mengabaikan ancaman tersebut dan melanjutkan agresinya terhadap Palestina dan Yaman?
Bagaimanakah nasib perdamaian dan stabilitas di kawasan ini? Dan bagaimanakah dampaknya bagi dunia?
Itulah beberapa pertanyaan yang muncul di tengah eskalasi ketegangan di Laut Merah dan sekitarnya.
Situasi ini membutuhkan solusi diplomatis yang adil dan bijaksana, bukan aksi militer yang sembrono dan berbahaya.
Karena, jika tidak, maka Laut Merah bisa menjadi lautan darah yang menenggelamkan harapan banyak orang.