jfid – Penelusuran terkait nasab Ba Alawi telah mengalami kemajuan yang signifikan.
Garis keturunan Ba Alawi, yang merujuk pada hubungan keturunan dari Nabi Muhammad SAW, ternyata terhenti selama 550 tahun.
Keseluruhan ketidaklanjutan ini dimulai sejak meninggalnya Ahmad bin Isa pada tahun 345 H dan berlanjut hingga kemunculan nama Ubaidillah yang disinggung oleh Habib Ali al-Sakran pada tahun 895 H.
Dalam karyanya yang terkenal, al-Burqat al-Musyiqoh yang kemudian dikenal sebagai al-Burqoh, Habib Ali al-Sakran memuat sebuah karya puisi (kosidah) yang merincikan nasab dari Ubaid bin Ahmad bin Isa hingga menyambung ke Nabi Muhammad SAW.
Karya puisi ini ditulis oleh Syekh Jamaluddin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Gosyir al-Hadrami, seorang ulama yang hidup pada masa yang sama dengan Habib Ali al-Sakran.
Melalui karya puisi tersebut, ada penghargaan yang disampaikan kepada kakak (atau adik) dari Habib Ali al-Sakran yang bernama Habib Abdullah bin Abu Bakar (al-Sakran).
Dari keterangan dalam kitab al-Burqoh ini, dapat diambil kesimpulan bahwa untuk pertama kalinya, nasab Ubaidillah diakui sebagai leluhur dari kalangan habaib yang berasal dari keturunan Nabi Muhammad SAW.
Namun, seperti yang sering ditekankan, penafsiran dari penelitian ini merupakan produk dari kajian ilmiah atau ijtihad.
Dengan demikian, ada kemungkinan bahwa sebagian orang dapat mengabaikan argumen yang telah kuat walaupun dianggap begitu dan mungkin lebih memilih untuk tetap meyakininya dengan keyakinan positif seperti sebelumnya, meskipun dianggap kurang kuat secara substansial.
Dalam konteks ini, kendati nasab Ba Alawi mengalami keterputusan selama 550 tahun, keyakinan dengan sikap positif masih dianggap dapat dipertahankan.
Seperti yang dikatakan oleh Imam al-Qalyubi: “Kita boleh mempergunakan pendapat yang lemah untuk urusan pribadi, bukan untuk fatwa dan penilaian hukum, selama tidak terjadi pertentangan antara dua pandangan dalam satu masalah tentang halal dan haram.”