jfid – Presiden Joko Widodo (Jokowi) baru saja melakukan pertemuan bilateral dengan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden di Gedung Putih pada 13 November 2023.
Salah satu agenda penting yang dibahas adalah konflik Israel-Palestina yang telah menewaskan belasan ribu orang, sebagian besar warga sipil Palestina di Jalur Gaza.
Jokowi diutus oleh Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) untuk mendesak Biden agar AS mau mendorong Israel menghentikan agresi ke Gaza.
OKI menuntut Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi yang mengikat untuk mengakhiri serangan Israel, serta menghentikan pengiriman senjata ke Israel yang dapat digunakan untuk membunuh warga Palestina.
OKI juga mendukung solusi dua negara sebagai jalan keluar permanen dari konflik berkepanjangan ini.
Namun, apakah Jokowi berhasil melobi Biden untuk mendukung tuntutan OKI? Apakah AS bersedia mengubah sikapnya yang selama ini pro-Israel? Apakah Israel mau menghentikan serangan dan menyetujui gencatan senjata?
Pengamat hubungan internasional dari Universitas BINUS, Tia Mariatul Kibtiah, menilai peluang Jokowi berhasil melobi Biden masih “setengah-setengah”, apalagi jika berkaca pada rekam jejak AS yang tak pernah meninggalkan Israel.
“Melihat sejarah panjang bagaimana AS selalu mendukung penuh Israel, saya melihat setengah-setengah antara AS mendengarkan Indonesia dan menerima poin-poin yang ada di OKI, atau hanya menerima beberapa poin,” tutur Tia kepada BBC News Indonesia.
Tia menganggap desakan masyarakat di AS akan lebih berpengaruh, terutama karena AS akan menggelar pemilu. Alhasil, para politikus akan berupaya keras menarik simpati warga.
Melihat dinamika politik kawasan dan dalam negeri AS, Tia memperkirakan Indonesia setidaknya dapat meloloskan sejumlah poin tuntutan OKI yang tertuang dalam resolusi pertemuan luar biasa blok tersebut di Riyadh, Arab Saudi, pada akhir pekan lalu.
Beberapa poin yang punya kans besar untuk diterima Biden, menurut Tia, adalah:
Akses bantuan internasional: Tia berharap AS dapat membantu memudahkan masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza, yang saat ini terkepung oleh blokade Israel dan Mesir. Bantuan tersebut sangat dibutuhkan oleh warga Gaza yang mengalami krisis kesehatan, pangan, air, dan listrik akibat serangan Israel.
Gencatan senjata: Tia optimistis AS dapat menekan Israel untuk menghentikan serangan dan menyetujui gencatan senjata, setidaknya untuk jangka pendek. Tia menilai AS tidak mau terlihat abai terhadap krisis kemanusiaan yang terjadi di Gaza, apalagi di tengah protes global yang mengecam Israel.
Solusi dua negara: Tia meyakini AS masih mendukung solusi dua negara sebagai jalan keluar permanen dari konflik Israel-Palestina. Solusi ini mengusulkan pembentukan negara Palestina yang merdeka dan berdaulat di samping Israel, dengan batas-batas yang diakui oleh dunia internasional. Namun, Tia menyadari solusi ini sulit diwujudkan karena Israel terus memperluas pemukiman ilegal di wilayah Palestina.
Namun, pengamat hubungan internasional dari Universitas Parahyangan, Kishino Bawono, pesimistis diplomasi Jokowi bakal berhasil, mengingat kebijakan mendasar AS yang memang pro-Israel.
“Harus diakui kalau upaya kolektif, kemungkinannya akan lebih besar untuk menekan Israel. Namun, harus diingat lagi bahwa presiden AS punya tanggung jawab terhadap konstituen negara mereka sendiri, entah itu pemilih mereka maupun kepentingan politik negaranya,” katanya.
Kishino juga membahas pernyataan Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, yang sempat mengkritik serangan Israel membunuh warga sipil di Gaza. Menurutnya, pernyataan Blinken itu juga tak bertaring.
“Ujung-ujungnya hanya pernyataan. Pernyataan itu kalau tidak didukung dengan misalnya, penghentian bantuan terhadap Israel, ya itu cuma seperti orang tua yang bicara ke anaknya, ‘Nak, jangan dilakukan dong,’ tapi masih memberikan uang saku untuk si anak itu melakukan hal yang salah lagi,” katanya.
Jika berkaca pada sikap AS selama ini, Kishino bahkan pesimistis AS bakal bisa mendesak Israel melakukan gencatan senjata.
Menurutnya, solusi paling realistis adalah AS kembali menyerukan penghentian pertempuran sementara, tapi dengan bahasa yang diperhalus seperti sebelumnya, yaitu jeda kemanusiaan.
Pada pekan lalu, AS memang sempat mengumumkan bahwa Israel berjanji bakal memberikan jeda penghentian serangan militer selama empat jam setiap harinya agar warga sipil dapat bergerak.
“Sudah ada desakan dari AS, tapi bahasanya bukan gencatan senjata. Mereka tidak mau menunjukkan kelemahan. Mereka masih mau menunjukkan agresivitas,” tutur Kishino.
Kishino ragu Israel bakal patuh kalaupun AS menyerukan gencatan senjata di Gaza, apalagi jika melihat sikap Netanyahu yang acap kali tutup kuping.
“Kita harus melihat pemerintahannya Netanyahu itu dari zaman dulu, apalagi dari era 2000-an, dia lebih berani untuk tidak mendengar tuntutan dari AS. Makanya, dia juga sempat ribut dengan Obama. Dia lebih cocok dengan Trump. Dia juga enggak terlalu dekat dengan Biden,” ujarnya.
Sikap Netanyahu ini tak lepas dari sentimen di Israel yang sejatinya masih mendukung kebijakan Zionis, yaitu menolak pembentukan negara Palestina.
Jika dilihat dari sejarah pemilu Israel saja, koalisi yang akhirnya berkuasa pasti disokong kelompok-kelompok anti-Palestina. Kekuatan pemerintahan Netanyahu saat ini juga sangat ditentukan oleh dukungan partai-partai sayap kanan.
“Kalau sekarang Netanyahu mau mengubah image -nya dia menjadi lebih lunak, kalkulasi politiknya, kalau dia melakukan itu bisa jadi dia bunuh diri politik,” tutur Kishino.
Ia lantas menarik contoh kasus ketika mantan Perdana Menteri Israel, Ariel Sharon, berubah haluan dari awalnya keras terhadap Israel, tiba-tiba mencanangkan Disengagement Plan Implementation Law untuk Jalur Gaza.
Regulasi itu secara umum mencabut seluruh kehadiran Israel di Jalur Gaza, mulai dari menutup pemukiman Yahudi hingga menarik pasukan mereka dari kawasan tersebut.
“Itu yang membuat karier politik Ariel Sharon itu bubar di depan kelompok sayap kanan Israel.
“Ariel Sharon kemudian mendapatkan dukungan dari kelompok sayap kiri yang lebih lunak dan diplomatis, tapi dari kelompok sayap kanan bubar total,” ucap Kishino.
Melihat kemelut berkepanjangan ini, Tia dan Kishino sama-sama pesimistis dunia internasional dapat mengandalkan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mencari solusi konflik Israel-Palestina.
Sebagai sekutu Israel, AS selalu memveto segala resolusi DK PBB yang merugikan negara Zionis itu. Menurut Kishino, saat ini dunia setidaknya dapat mendesak AS mengubah sedikit kebijakannya terhadap Israel.
“Berubahnya itu tidak harus secara total mendukung Israel. Masih mendukung Israel, tapi lebih mengekang bagaimana conduct -nya Israel di Gaza, mengekang cara bertindaknya. Bagaimana caranya? Aksi kolektif,” katanya.
Aksi kolektif ini bisa juga datang dari OKI, yang merupakan organisasi kerja sama antar negara-negara Islam. Dengan dukungan dari OKI, Indonesia dapat memperkuat posisinya dalam melobi AS.
Namun, Kishino mengingatkan bahwa aksi kolektif ini harus didukung oleh negara-negara besar lainnya, seperti Rusia dan China, yang juga memiliki hak veto di DK PBB. Jika tidak, upaya ini akan sia-sia.
“Kalau negara-negara besar itu tidak mendukung, ya percuma juga. Jadi, harus ada konsolidasi dari negara-negara besar itu,” katanya.
Tia menambahkan, dunia internasional juga harus mendesak Israel dan Palestina untuk kembali ke meja perundingan dan mencari solusi damai. Namun, dia menyadari bahwa ini bukan tugas yang mudah.
“Kedua belah pihak harus mau duduk bersama dan berunding. Tapi, ini sulit karena Israel dan Palestina sama-sama keras kepala. Mereka sama-sama merasa benar dan tidak mau mengalah,” ujarnya.
Tia berharap, pertemuan bilateral Jokowi dan Biden dapat membuka jalan baru bagi penyelesaian konflik Israel-Palestina. Meski peluangnya kecil, dia tetap optimistis.
“Kita harus tetap berharap dan berdoa. Semoga pertemuan ini dapat membawa perubahan positif bagi rakyat Palestina,” tutup Tia.
Kemungkinan Presiden Joko Widodo mendesak Presiden Joe Biden untuk mendorong Israel menghentikan serangan ke Gaza.
Meski peluangnya masih setengah-setengah, kita harus tetap berharap dan berdoa agar perdamaian dapat segera terwujud di Palestina.