jfid – Jakarta – Aksi boikot terhadap produk-produk yang dianggap pro Israel atau terafiliasi dengan negara tersebut terus bergema di Indonesia.
Hal ini sebagai bentuk solidaritas terhadap rakyat Palestina yang menjadi korban agresi Israel. Namun, bagaimana dampak aksi boikot ini terhadap saham-saham perusahaan yang bersangkutan di pasar modal Indonesia?
Berdasarkan data yang saya dapatkan dari Nasdaq dan Bursa Efek New York, beberapa saham perusahaan yang menjadi sasaran boikot mengalami penurunan, namun ada juga yang menguat.
Misalnya, saham Starbucks (SBUX) yang pada hari Selasa, 31 Oktober 2023, tercatat naik 1,23 persen menjadi US$ 93,15.
Namun, jika dibandingkan lima hari sebelumnya, harga saham ini merosot 1,08 persen dari US$ 94,50. Kemudian, dibandingkan sebulan sebelumnya, harga saham ini naik 2,22 persen dari US$ 91,13.
Sementara itu, saham McDonald’s (MCD) yang juga menjadi target boikot, tercatat naik 1,72 persen menjadi US$ 260,15. Namun, dibandingkan lima hari sebelumnya, harga saham ini turun 2,12 persen dari US$ 257,85. Pada 20 Oktober 2023, saham MCD sempat anjlok ke angka US$ 254,75.
Selain itu, saham PepsiCo (PEP) yang memproduksi minuman dan camilan seperti Pepsi, Mountain Dew, Lay’s, dan Doritos, tercatat naik 1,67 persen menjadi US$ 162,28. Namun, dibandingkan sebulan sebelumnya, harga saham ini turun 4,07 persen dari US$ 169,17.
Menurut analis pasar modal dari Center of Reform on Economics (Core), Rizal Taufikurahman, aksi boikot produk pro Israel memang memberikan efek terhadap kinerja penjualan perusahaan tersebut.
Hal ini karena tekanan dari berbagai kelompok masyarakat yang mendukung Palestina. “Lebih jauh lagi, produktivitas dari industri pada produk-produk ini akan tertekan, sebesar tekanan konsumsi yang menurun,” kata Rizal kepada.
Rizal menambahkan, faktor politik juga memiliki peran besar dalam fluktuasi saham-saham pro Israel. Pemerintah Indonesia telah mengambil berbagai langkah untuk mengekang hubungan dengan Israel, termasuk pembatasan ekspor-impor dan investasi.
Hal ini menciptakan ketidakpastian di antara investor asing dan domestik, yang lebih suka menghindari risiko potensial dengan menjauh dari perusahaan yang terlibat dalam kontroversi ini.
Namun, Rizal juga mengingatkan bahwa pasar modal yang kuat adalah elemen penting dalam pertumbuhan ekonomi. Jika terlalu banyak tekanan politik ditempatkan pada saham-saham pro Israel, ini dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja di Indonesia.
“Kita harus bijak dalam melakukan aksi boikot ini, agar tidak merugikan kepentingan nasional kita sendiri,” ujar Rizal.