jfid – Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, mempertunjukkan sejarah yang kompleks dan berkembang dalam hubungannya dengan Israel, dengan dua presiden berpengaruh, Soekarno dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), menunjukkan pendekatan yang kontras dalam mengelola keterlibatan dengan negara Timur Tengah ini.
Soekarno, sebagai Presiden Pertama Republik Indonesia, memanfaatkan pemahamannya akan posisi geopolitik Indonesia yang strategis di antara dua benua dan dua samudera.
Dia menyakini bahwa pertahanan nasional harus didasarkan pada pengetahuan akan faktor-faktor geopolitik yang memengaruhi keberlangsungan negara.
Selama masa pemerintahannya, hubungan diplomatik formal antara Indonesia dan Israel tidak terjalin, dan Soekarno secara konsisten menunjukkan sikap anti-Israel.
Keputusannya untuk melarang tim nasional Indonesia bertanding melawan Israel dalam kualifikasi Piala Dunia 1958 dan ketidakhadiran Israel dalam Konferensi Asia Afrika serta Asian Games 1962 menegaskan komitmen anti-kolonialis dan kebijakan pro-Arab.
Di masa yang berbeda, Abdurrahman Wahid, atau yang akrab dipanggil Gus Dur, sebagai Presiden ke-4 Indonesia, membawa pendekatan yang lebih pragmatis terhadap hubungan dengan Israel.
Gus Dur pernah mengusulkan pendekatan diplomatis dengan Israel dengan keyakinan bahwa Indonesia dapat memainkan peran dalam memediasi perdamaian antara Palestina dan Israel melalui dialog langsung.
Meskipun usulannya tidak terwujud dalam hubungan diplomatik formal, sikapnya mencerminkan kecenderungan pragmatis dan realis dalam menangani hubungan internasional.
Penting untuk dicatat bahwa meskipun Gus Dur memiliki pandangan yang lebih lunak terhadap hubungan dengan Israel, dia juga menetapkan syarat ketat.
Indonesia tidak akan membuka hubungan diplomatik dengan Israel sebelum kemerdekaan penuh bagi Palestina tercapai.
Ini menunjukkan kepekaan Gus Dur terhadap isu kemerdekaan nasional dan hak-hak rakyat Palestina.
Perbedaan dalam pendekatan Soekarno dan Gus Dur terhadap hubungan Indonesia-Israel mencerminkan kompleksitas dalam politik luar negeri Indonesia.
Meskipun keduanya memimpin Indonesia, mereka memproyeksikan pandangan yang berbeda, menunjukkan bahwa hubungan internasional tidaklah statis.
Sebaliknya, mereka selalu berubah dan berkembang seiring dengan perubahan kepemimpinan dan dinamika global.
Dengan memahami kerangka sejarah dan pendekatan yang berbeda ini, dapat disimpulkan bahwa hubungan Indonesia-Israel tidak hanya mencerminkan realitas geopolitik regional, tetapi juga dinamika internal yang memengaruhi pengambilan keputusan para pemimpin Indonesia.
Kesimpulannya, kebijakan luar negeri Indonesia terhadap Israel adalah gambaran nyata dari interplay kompleks antara faktor-faktor nasional dan internasional yang terus membentuk dinamika hubungan bilateral.