jfid – Perang antara Israel dan Hamas, kelompok militan yang menguasai Jalur Gaza, telah berlangsung selama hampir sebulan tanpa ada tanda-tanda berakhir.
Konflik ini dipicu oleh serangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023, yang menewaskan lebih dari 1.400 warga Israel, sebagian besar warga sipil.
Israel membalas dengan melakukan serangan udara, pengeboman, dan invasi darat terhadap Gaza, yang menyebabkan ribuan kematian warga Palestina.
Di tengah situasi yang genting, Amerika Serikat (AS) berusaha untuk memainkan peran diplomatisnya sebagai penengah antara kedua belah pihak.
Namun, upaya AS terhambat oleh beberapa faktor, termasuk perbedaan mendalam antara dan di dalam pihak Israel dan Palestina, serta menurunnya minat AS untuk menjalankan peran jujur dan adil yang biasa dilakukannya.
Salah satu faktor yang mempersulit peran AS adalah kebijakan kontroversial yang diterapkan oleh mantan Presiden Donald Trump, yang dianggap memihak kepada Israel dan merugikan Palestina.
Beberapa kebijakan itu antara lain adalah mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, memindahkan kedutaan AS dari Tel Aviv ke Yerusalem, menghentikan bantuan kepada Palestina, dan menutup kantor Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) di Washington DC.
Presiden Joe Biden, yang menggantikan Trump pada Januari 2023, berjanji untuk memulihkan hubungan dengan Palestina dan mendukung solusi dua negara, yaitu pembentukan negara Palestina yang berdampingan dengan Israel.
Namun, Biden belum mengambil langkah-langkah konkret untuk merealisasikan janjinya itu. Sebaliknya, ia lebih fokus pada mempromosikan normalisasi hubungan antara Israel dan negara-negara Arab, serta melanjutkan bantuan kemanusiaan untuk Palestina.
Pada 26 Mei 2023, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken melakukan kunjungan ke wilayah Palestina yang diduduki Israel, termasuk Ramallah dan Gaza.
Ia bertemu dengan Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas dan menegaskan komitmen AS untuk membangun kembali hubungan dengan Palestina.
Ia juga mengumumkan bahwa AS akan membuka kembali konsulatnya di Yerusalem, yang menangani urusan Palestina, dan akan memberikan bantuan untuk membantu membangun kembali Gaza, yang hancur akibat serangan Israel.
Namun, Blinken juga menegaskan bahwa AS tidak akan membiarkan Hamas, yang dianggap sebagai organisasi teroris oleh AS, mendapatkan manfaat dari bantuan tersebut. Ia juga menjamin Israel tentang “komitmen besi” AS terhadap keamanan negara itu.
Blinken juga mengatakan bahwa AS mendukung gencatan senjata yang ditengahi oleh Mesir, tetapi menambahkan bahwa konflik ini tidak bisa kembali ke kondisi sebelumnya, baik di Gaza maupun di Tepi Barat.
Blinken menghadapi tantangan besar dalam menjembatani jurang antara Israel dan Palestina, yang semakin melebar akibat perang ini. Ia juga harus mengatasi skeptisisme dari kedua belah pihak terhadap peran AS, yang dianggap tidak netral dan tidak konsisten.
Selain itu, ia juga harus menghadapi tekanan dari dalam negeri, terutama dari sayap kiri Partai Demokrat, yang menuntut AS untuk mengambil sikap yang lebih tegas terhadap Israel dan mendesak agar menghentikan penjualan senjata kepada negara itu.
Apakah AS bisa menjadi penengah yang efektif dalam konflik Israel-Palestina? Apakah solusi dua negara masih relevan dan realistis? Apakah perang ini akan berakhir dengan damai atau akan berlanjut dengan siklus kekerasan yang tak berujung?
Pertanyaan-pertanyaan ini masih terbuka, sementara nyawa dan harapan terus melayang di tanah suci yang terkoyak oleh konflik.