jfid – Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) sedang berada di bawah sorotan publik.
Mereka harus memutuskan nasib sembilan hakim konstitusi yang dilaporkan oleh masyarakat karena diduga melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim.
Salah satu hakim konstitusi yang paling menarik perhatian adalah Ketua MK Anwar Usman, yang diduga memiliki hubungan kekerabatan dengan Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko Widodo.
Anwar Usman menjadi kontroversial karena ikut memeriksa dan memutus perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang syarat usia calon presiden dan wakil presiden.
Dalam perkara tersebut, MK mengabulkan sebagian permohonan para pemohon dan menetapkan bahwa syarat usia calon presiden dan wakil presiden adalah minimal 35 tahun pada saat pendaftaran.
Putusan ini dinilai menguntungkan Gibran, yang berusia 36 tahun pada tahun 2024, sehingga bisa mencalonkan diri sebagai wakil presiden.
Namun, banyak pihak yang mempertanyakan integritas Anwar Usman dalam perkara tersebut. Mereka menuding Anwar Usman memiliki konflik kepentingan, karena Gibran adalah keponakan dari istri Anwar Usman, yakni Sri Mulyani.
Selain itu, Anwar Usman juga diduga melanggar kode etik pasal 17 ayat (5) UU 48/2009, yang mengatur bahwa hakim konstitusi harus menjaga kerahasiaan rapat permusyawaratan.
Anwar Usman dikabarkan pernah mengungkapkan isi rapat tersebut kepada media dan publik.
Apakah Anwar Usman bersalah? Apa sanksi yang akan dijatuhkan MKMK kepada Anwar Usman dan hakim konstitusi lainnya? Apa dampak putusan MKMK terhadap putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023?
Inilah pertanyaan-pertanyaan yang menggantung di udara, menunggu jawaban dari MKMK. MKMK sendiri dijadwalkan akan membacakan putusan mereka pada Selasa, 7 November 2023.
MKMK memiliki tiga jenis sanksi yang dapat dijatuhkan kepada hakim konstitusi yang terbukti bersalah, yaitu teguran lisan, teguran tertulis, atau pemberhentian tidak dengan hormat.
Namun, ada kemungkinan lain yang lebih menarik, yaitu meminta MK untuk memeriksa kembali perkara yang sama dengan komposisi hakim konstitusi yang berbeda.
Hal ini didasarkan pada pasal 17 ayat (6) UU 48/2009, yang menyatakan bahwa putusan yang diambil dengan cara melanggar kode etik dinyatakan tidak sah.
Apakah hal ini berarti putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 bisa dibatalkan? Tidak semudah itu, Ferguso. Pasalnya, ada pasal lain yang mengatur bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat, yaitu pasal 24C ayat (1) UUD 1945.
Bagaimana cara menyelesaikan kontradiksi antara kedua pasal ini? Apakah UUD lebih tinggi dari UU, atau sebaliknya? Apakah putusan MKMK bisa mengalahkan putusan MK, atau sebaliknya?
Para ahli hukum punya pendapat berbeda-beda tentang hal ini. Ada yang berpendapat bahwa putusan MKMK tidak bisa membatalkan putusan MK, karena UUD lebih tinggi dari UU.
Ada juga yang berpendapat bahwa putusan MKMK bisa membatalkan putusan MK, karena UU lebih spesifik dari UUD. Ada juga yang berpendapat bahwa putusan MKMK dan putusan MK harus diselaraskan, karena keduanya berasal dari lembaga yang sama.
Siapa yang benar? Belum ada jawaban pasti. Yang jelas, MKMK harus berhati-hati dalam mengambil keputusan, karena dampaknya bisa sangat besar bagi proses demokrasi di Indonesia.
Semua itu akan terjawab pada Selasa, 7 November 2023, saat MKMK membacakan putusan mereka. Mari kita tunggu dan saksikan.