jfid – Presiden AS Joe Biden baru-baru ini mengulangi sebuah pernyataan yang pernah dia ucapkan pada tahun 1986: “Jika tidak ada Israel, Amerika Serikat harus menciptakan satu untuk melindungi kepentingan kami di kawasan itu.”
Pernyataan ini menunjukkan betapa eratnya hubungan antara AS dan Israel, yang telah berlangsung sejak pendirian negara Yahudi itu pada tahun 1948.
Namun, apa sebenarnya alasan di balik hubungan ini? Apakah AS benar-benar membutuhkan Israel sebagai sekutu strategisnya di Timur Tengah? Dan bagaimana reaksi dunia terhadap pernyataan Biden ini?
AS dan Israel memiliki sejarah panjang kerjasama politik, militer, ekonomi dan budaya. AS adalah negara pertama yang mengakui kemerdekaan Israel pada tahun 1948, hanya beberapa menit setelah David Ben-Gurion menyatakan berdirinya negara itu.
Sejak saat itu, AS telah memberikan bantuan finansial, persenjataan dan dukungan diplomatik yang besar kepada Israel. Menurut Congressional Research Service (CRS), Israel adalah penerima bantuan luar negeri AS terbesar sejak Perang Dunia II, dengan total sekitar $150 miliar.
Selain itu, AS juga merupakan mitra dagang terbesar Israel, dengan nilai perdagangan dua arah mencapai hampir $50 miliar pada tahun 2023.
Salah satu alasan utama mengapa AS mendukung Israel adalah karena mereka memiliki kepentingan bersama dalam menangkal pengaruh Uni Soviet dan kemudian Rusia di Timur Tengah.
Selama Perang Dingin, AS dan Israel bekerja sama untuk menghadapi gerakan nasionalis Arab yang didukung oleh Moskow, seperti Mesir di bawah Gamal Abdel Nasser dan Suriah di bawah Hafez al-Assad.
Setelah runtuhnya Uni Soviet, ancaman baru muncul dari Iran, yang berusaha memperluas pengaruhnya di kawasan itu dengan mendukung kelompok militan seperti Hizbullah di Lebanon dan Hamas di Jalur Gaza. AS dan Israel juga bersatu dalam menghadapi ancaman nuklir Iran, yang dianggap sebagai ancaman eksistensial bagi kedua negara.
Selain alasan strategis, hubungan AS-Israel juga didasarkan pada nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia yang mereka klaim sebagai warisan bersama. AS sering menyebut Israel sebagai “satu-satunya demokrasi di Timur Tengah” dan “sekutu alami” yang memiliki sistem politik dan hukum yang mirip dengan AS.
AS juga merasa memiliki kewajiban moral untuk melindungi Israel dari antisemitisme dan genosida yang dialami oleh bangsa Yahudi sepanjang sejarah. Hal ini tercermin dalam komitmen AS untuk menjaga keamanan Israel sebagai “prioritas utama” kebijakan luar negerinya.
Namun, hubungan AS-Israel tidak selalu mulus dan harmonis. Ada juga ketegangan dan perselisihan antara kedua negara terkait dengan isu-isu seperti perdamaian dengan Palestina, penyelesaian di Tepi Barat dan Yerusalem Timur, serta perang dengan negara-negara Arab tetangga.
Misalnya, pada tahun 1975, Presiden Gerald Ford mengancam akan meninjau kembali hubungan AS-Israel setelah Perdana Menteri Yitzhak Rabin menolak rencana penarikan pasukan dari Sinai yang disepakati dengan Mesir.
Pada tahun 1991, Presiden George H.W. Bush menunda pemberian pinjaman jaminan kepada Israel karena Perdana Menteri Yitzhak Shamir terus membangun permukiman Yahudi di wilayah yang diduduki. Pada tahun 2010, Presiden Barack Obama mengecam Perdana Menteri Benjamin Netanyahu karena mengumumkan rencana pembangunan 1.600 unit perumahan di Yerusalem Timur saat Wakil Presiden Joe Biden berkunjung ke Israel.
Pernyataan Biden yang mengatakan AS harus menciptakan Israel jika negara itu tidak ada menimbulkan berbagai reaksi di dunia. Beberapa pihak menganggapnya sebagai bukti kesetiaan dan persahabatan AS terhadap Israel, yang harus dihargai dan dijaga.
Mereka berpendapat bahwa Israel adalah sekutu penting bagi AS dalam memerangi terorisme, melawan Iran, dan mempromosikan stabilitas dan kemajuan di Timur Tengah. Mereka juga menekankan bahwa Israel adalah negara demokrasi yang berbagi nilai-nilai dengan AS dan pantas mendapatkan perlindungan dan dukungan dari negara adidaya itu.
Namun, ada juga pihak yang mengkritik pernyataan Biden sebagai tanda ketidakadilan dan kesewenang-wenangan AS terhadap Israel, yang harus dikoreksi dan dikritik.
Mereka berpendapat bahwa Israel adalah negara penjajah yang melanggar hukum internasional dengan menduduki tanah Palestina, membangun permukiman ilegal, dan melakukan pelanggaran hak asasi manusia terhadap rakyat Palestina.
Mereka juga menuduh bahwa Israel adalah negara apartheid yang mendiskriminasi warga Arabnya sendiri, serta negara agresif yang sering menyerang negara-negara Arab lainnya. Mereka menuntut agar AS menghentikan bantuan dan dukungan militernya kepada Israel, dan mendesak agar AS bersikap lebih netral dan adil dalam menyelesaikan konflik Israel-Palestina.
Dengan demikian, hubungan AS-Israel adalah hubungan yang kompleks dan kontroversial, yang dipengaruhi oleh berbagai faktor politik, strategis, ekonomi, budaya, sejarah, dan moral. Hubungan ini juga memiliki dampak besar bagi situasi dan dinamika di Timur Tengah, serta bagi hubungan AS dengan negara-negara lain di dunia.
Pernyataan Biden yang mengatakan AS harus menciptakan Israel jika negara itu tidak ada merupakan salah satu contoh dari hubungan ini, yang menunjukkan betapa eratnya ikatan antara kedua negara, sekaligus betapa rumitnya tantangan yang mereka hadapi.