jfid – Presiden Joko Widodo mengatakan aturan untuk mengendalikan niaga elektronik atau e-commerce berbasis media sosial akan segera disiapkan oleh kementerian terkait. Jokowi menyebut jual beli secara online di media sosial mulai berdampak kepada anjloknya pendapatan pedagang di pasar.
Pasar Tanah Abang, Jakarta, tampak sepi dari aktivitas jual beli. Pedagang mengeluhkan penurunan omzet yang drastis akibat persaingan dengan penjual online di media sosial. Salah satu media sosial yang menjadi sorotan adalah TikTok, yang menyediakan fitur TikTok Shop untuk memfasilitasi transaksi antara penjual dan pembeli.
“Kalau dulu sehari bisa jual Rp 10 juta, sekarang paling Rp 2 juta. Itu pun kalau ada yang beli. Sekarang orang lebih suka beli di TikTok Shop, lebih murah dan praktis,” ujar Siti, pedagang baju di Blok G Pasar Tanah Abang.
Siti bukan satu-satunya pedagang yang merasakan dampak negatif dari maraknya jualan di media sosial. Di Pasar Johar, Semarang, pedagang juga mengalami hal serupa. Mereka mengaku kesulitan bersaing dengan harga dan variasi barang yang ditawarkan oleh penjual online.
“Kami tidak bisa menurunkan harga terlalu rendah, karena kami harus bayar sewa tempat, listrik, dan biaya lainnya. Sedangkan penjual online bisa jual dengan harga miring, karena mereka tidak punya beban seperti kami,” kata Rudi, pedagang sepatu di Pasar Johar.
Menanggapi keluhan para pedagang, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan aturan untuk mengendalikan niaga elektronik atau e-commerce berbasis media sosial akan segera disiapkan oleh kementerian terkait. Jokowi menyebut jual beli secara online di media sosial mulai berdampak kepada usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) Indonesia serta aktivitas perekonomian di pasar.
“Ini baru disiapkan, itu kan lintas kementerian dan ini memang baru difinalisasi di Kementerian Perdagangan,” ujar Jokowi dalam keterangan yang diterima dari Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden, Sabtu (23/9/2023).
Jokowi menyampaikan hal itu usai meninjau penanganan Inpres Jalan Daerah (IJD) di Kabupaten Penajam Paser Utara, Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim). Jokowi mengatakan jualan secara online menggunakan media sosial ini harus segera diatur karena dapat berdampak kepada usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) Indonesia serta aktivitas perekonomian di pasar.
“Karena kita tahu itu berefek pada UMKM, kepada produksi di usaha kecil, usaha mikro, dan juga pada pasar. Ada pasar, di beberapa pasar mulai anjlok menurun karena serbuan,” lanjutnya.
Jokowi menyebut bahwa regulasi yang sedang dirancang tersebut akan mengatur antara media sosial dan platform perdagangan atau ekonomi. “Mestinya dia itu sosial media bukan ekonomi media, itu yang baru akan diselesaikan untuk segera diatur,” pungkasnya.
Aturan Baru untuk Jualan Online
Aturan yang dimaksud oleh Jokowi adalah revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020 Tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Aturan ini mengatur tentang kewajiban izin usaha, periklanan, dan pengawasan bagi pelaku usaha yang berjualan secara online.
Salah satu poin yang menjadi sorotan adalah Pasal 5 ayat (1) yang menyebutkan bahwa pelaku usaha yang melakukan perdagangan melalui sistem elektronik wajib memiliki izin usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal ini berarti bahwa penjual online di media sosial juga harus memiliki izin usaha, baik itu berupa Nomor Induk Berusaha (NIB) maupun Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP).
Namun, aturan ini menuai kritik dari berbagai pihak, terutama dari kalangan UMKM. Mereka menganggap aturan ini terlalu memberatkan dan menghambat perkembangan usaha mereka. Mereka juga menilai aturan ini tidak sesuai dengan kondisi riil di lapangan, di mana banyak penjual online yang masih berskala kecil dan belum memiliki izin usaha.
“Kami minta pemerintah untuk merevisi aturan ini, karena ini sangat merugikan kami. Kami sudah susah-susah berjualan online, tapi malah dibebani dengan syarat izin usaha yang ribet dan mahal. Padahal kami hanya berjualan dengan modal kecil dan untung sedikit,” ucap Dina, penjual online di media sosial.
Menyikapi kritik tersebut, Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengaku sedang melakukan revisi terhadap Permendag Nomor 50 Tahun 2020. Kemendag mengklaim bahwa revisi ini bertujuan untuk memberikan kemudahan dan perlindungan bagi pelaku usaha, termasuk UMKM, dalam berjualan secara online.
“Kami sedang melakukan revisi untuk menyempurnakan aturan ini, agar lebih sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman. Kami ingin memberikan kemudahan dan perlindungan bagi pelaku usaha, khususnya UMKM, agar bisa berkembang dan bersaing secara sehat di era digital,” kata Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag, Suhanto.
Suhanto menjelaskan bahwa revisi ini akan mengatur tentang kriteria dan mekanisme perizinan usaha bagi pelaku usaha yang berjualan secara online. Ia mengatakan bahwa tidak semua penjual online harus memiliki izin usaha, melainkan hanya yang memenuhi kriteria tertentu, seperti omzet, jumlah transaksi, dan jenis barang yang dijual.
“Kami akan membuat kriteria yang jelas dan adil, siapa yang harus memiliki izin usaha dan siapa yang tidak. Kami tidak akan memberatkan UMKM yang masih berskala kecil dan berjualan barang-barang biasa. Kami akan fokus pada UMKM yang sudah berskala besar dan berjualan barang-barang yang berpotensi menimbulkan dampak negatif, seperti barang berbahaya, ilegal, atau palsu,” ujar Suhanto.
Suhanto menambahkan bahwa revisi ini juga akan mengatur tentang periklanan dan pengawasan bagi pelaku usaha yang berjualan secara online. Ia mengatakan bahwa tujuan dari pengaturan ini adalah untuk mencegah praktik-praktik yang merugikan konsumen, seperti penipuan, pemalsuan, atau penyalahgunaan data pribadi.
“Kami akan mengatur tentang kewajiban dan tanggung jawab pelaku usaha dalam melakukan periklanan di media sosial. Kami akan memastikan bahwa periklanan yang dilakukan sesuai dengan kenyataan dan tidak menyesatkan konsumen. Kami juga akan mengawasi aktivitas perdagangan online di media sosial, untuk mencegah dan menindak tegas pelanggaran yang terjadi,” kata Suhanto.
Harapan dan Tantangan
Revisi aturan untuk jualan online ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang terlibat, baik itu pemerintah, pelaku usaha, maupun konsumen. Pemerintah berharap dapat meningkatkan penerimaan negara, mengatur perekonomian digital, dan melindungi kepentingan masyarakat. Pelaku usaha berharap dapat mendapatkan kemudahan, kepastian, dan perlindungan dalam berusaha. Konsumen berharap dapat mendapatkan kenyamanan, keamanan dan keadilan dalam berbelanja.
Namun, revisi aturan ini juga menghadapi beberapa tantangan dan hambatan, baik itu dari sisi teknis, sosial, maupun politik. Dari sisi teknis, pemerintah harus mampu membuat sistem yang efektif dan efisien untuk mengidentifikasi, mengawasi, dan menindak pelaku usaha yang berjualan secara online. Dari sisi sosial, pemerintah harus mampu mengedukasi dan mensosialisasikan aturan ini kepada masyarakat, khususnya pelaku usaha dan konsumen, agar mereka dapat memahami dan mematuhi aturan ini. Dari sisi politik, pemerintah harus mampu mengatasi tekanan dan kepentingan dari berbagai pihak, baik itu asosiasi usaha, media sosial, maupun negara asing, yang mungkin memiliki pandangan dan sikap yang berbeda terhadap aturan ini.
Oleh karena itu, revisi aturan untuk jualan online ini membutuhkan komitmen dan kerjasama dari semua pihak yang terkait, agar dapat berjalan dengan lancar dan memberikan dampak positif bagi perekonomian dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.