Seorang selebgram TikTok ditetapkan sebagai tersangka penistaan agama karena memakan babi sambil mengucapkan “Bismillah”. Apa yang salah dengan hukum kita?
Lina Mukherjee, seorang selebgram TikTok yang memiliki lebih dari 2 juta pengikut, tidak menyangka bahwa konten video yang dia buat untuk menghibur dirinya sendiri dan penggemarnya akan berujung pada jerat hukum. Pada bulan Maret 2023, Lina mengunggah video saat menyicipi kriuk babi, sebuah makanan yang diharamkan bagi umat Islam. Di dalam video itu, Lina sempat mengucapkan “Bismillah”, sebuah kalimat yang biasa diucapkan oleh umat Islam sebelum melakukan sesuatu. Lina juga menyebut bahwa dia “penasaran” dengan kriuk babi.
Video tersebut kemudian viral di media sosial dan menuai berbagai reaksi dari netizen. Sebagian menganggap video itu sebagai lelucon yang tidak perlu dipermasalahkan, sebagian lagi merasa tersinggung dan menganggap Lina telah menodai agama Islam. Salah satu yang merasa tersinggung adalah M Syarif Hidayat, seorang ustad di Palembang, yang melaporkan Lina ke Polda Sumatra Selatan atas dugaan penistaan agama “karena dengan sadar sebagai umat Muslim memakan kulit babi”.
Polisi kemudian menindaklanjuti laporan itu dengan meminta keterangan sejumlah saksi ahli, mulai dari ahli bahasa, ahli ITE, dan ahli pidana. Pada Kamis (27/4), Direktorat Kriminal Khusus Polda Sumsel menetapkan Lina sebagai tersangka kasus penistaan agama. “Kami juga sudah menerima surat pemberitahuan hasil fatwa MUI [Majelis Ulama Indonesia] pada 18 April 2023 yang menyatakan apa yang dilakukan Lina Mukherjee termasuk penistaan agama,” kata Direktur Kriminal Khusus Polda Sumatra Selatan Kombes Agung Marlianto.
Polisi menjerat Lina dengan pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagaimana diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2016, yang berbunyi tentang penyebaran informasi berbau kebencian atau permusuhan atas suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Pasal ini memiliki ancaman hukuman maksimal enam tahun penjara dan denda Rp 1 miliar.
Namun, banyak pihak yang menilai penetapan Lina sebagai tersangka adalah hal yang berlebihan dan tidak semestinya dipidanakan. Mereka menganggap Lina sebagai korban terbaru dari “pasal karet” yang tafsirnya sering kali sangat subjektif dan dipengaruhi oleh faktor-faktor sosiologis, seperti desakan masyarakat baik secara offline atau online.
Zainal Arifin, Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), mengatakan apa yang menimpa Lina adalah bentuk “kriminalisasi” menggunakan “pasal karet”. “Ini sering kali dipengaruhi oleh faktor-faktor sosiologis, adanya desakan masyarakat baik secara offline atau online, ada kata kunci yang viral dijadikan landasan oleh penegak hukum untuk memidanakan seseorang atas dasar penodaan agama. Ini sangat rentan karena tergantung siapa yang menafsirkan,” kata Zainal.
Zainal menambahkan bahwa pasal-pasal yang digunakan untuk menjerat Lina memiliki ruang lingkup yang terlalu luas dan tidak jelas. “Pasal 28 ayat (2) UU ITE itu kan berbunyi ‘Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)’. Nah, kalimat ‘ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan’ itu kan sangat subjektif. Siapa yang menentukan itu? Apakah ada bukti bahwa Lina memang bermaksud untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan? Apakah ada bukti bahwa ada orang yang merasa benci atau bermusuhan karena video itu? Ini kan sangat sulit untuk dibuktikan,” kata Zainal.
Zainal juga mengkritik penggunaan fatwa MUI sebagai dasar penetapan tersangka. “Fatwa MUI itu kan bukan hukum positif, bukan hukum yang berlaku di Indonesia. Fatwa MUI itu kan hanya pandangan atau pendapat dari sekelompok ulama yang mewakili MUI. Fatwa MUI itu kan tidak mengikat, tidak memiliki kekuatan hukum. Jadi, tidak seharusnya fatwa MUI dijadikan sebagai alat bukti dalam proses hukum,” kata Zainal.
Zainal menyarankan agar kasus Lina diselesaikan secara kekeluargaan atau melalui jalur mediasi. “Kalau memang ada pihak yang merasa tersinggung atau terganggu oleh video Lina, sebaiknya diselesaikan secara kekeluargaan atau melalui jalur mediasi. Lina kan sudah minta maaf dan menghapus video itu. Lina juga sudah mengakui bahwa dia salah dan tidak tahu bahwa itu bisa menyinggung orang lain. Lina kan juga tidak mengajak orang lain untuk ikut-ikutan memakan babi atau mengucapkan Bismillah saat memakan babi. Jadi, tidak perlu sampai dipidanakan,” kata Zainal.
Pendapat serupa juga disampaikan oleh Gus Muhammad Al-Fayyadl, seorang intelektual muda dari Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di Indonesia. Gus Fayyadl mengatakan bahwa dia “tidak setuju” apabila kasus Lina “dianggap sebagai penistaan agama” karena yang dilakukan oleh Lina adalah dosanya sendiri. “Toh dia juga tidak mengajak ramai-ramai. Kalau dia ramai-ramai berkampanye mengajak orang makan babi baca Bismillah, menurut saya, itu baru penistaan. Tapi kalau dia hanya sekadar penasaran dan mencoba, itu kan dosa dia, bukan dosa kita. Kita tidak perlu ikut campur urusan dosa orang lain,” kata Gus Fayyadl.
Gus Fayyadl menilai bahwa kasus Lina adalah contoh dari intoleransi dan diskriminasi terhadap perbedaan. “Saya kira ini adalah bentuk intoleransi dan diskriminasi terhadap perbedaan. Kita harus menghormati perbedaan dan tidak memaksakan kehendak kita kepada orang lain. Kita harus mengedepankan sikap saling menghargai dan menghormati. Kita harus mengedepankan sikap santun dan beradab. Kita harus mengedepankan sikap damai dan harmonis,” kata Gus Fayyadl.
Gus Fayyadl berharap agar kasus Lina tidak berlarut-larut dan tidak menimbulkan konflik yang lebih besar. “Saya berharap agar kasus Lina bisa diselesaikan dengan baik dan tidak berlarut-larut. Saya berharap agar kasus Lina tidak menimbulkan konflik yang lebih besar antara kelompok-kelompok yang berbeda. Saya berharap agar kasus Lina tidak merusak persatuan dan kesatuan bangsa. Saya berharap agar kasus Lina tidak mengganggu kerukunan dan kedamaian umat beragama,” kata Gus Fayyadl.
Kasus Lina Mukherjee adalah salah satu dari banyak kasus yang menunjukkan betapa rentannya hukum kita terhadap penyalahgunaan dan penafsiran yang sewenang-wenang. Pasal-pasal yang seharusnya
berlindung di balik tujuan yang mulia, yaitu melindungi agama dan negara dari penghinaan dan pelecehan. Padahal, pasal-pasal tersebut justru sering kali digunakan untuk menindas dan membungkam orang-orang yang berbeda pendapat, pandangan, atau keyakinan. Pasal-pasal tersebut justru sering kali digunakan untuk memenuhi kepentingan politik, ekonomi, atau sosial tertentu. Pasal-pasal tersebut justru sering kali digunakan untuk mengadu domba dan memecah belah masyarakat.
Kasus Lina Mukherjee adalah salah satu dari banyak kasus yang menunjukkan betapa pentingnya kita untuk mereformasi hukum kita agar lebih adil, demokratis, dan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Kita perlu merevisi atau mencabut pasal-pasal yang bersifat karet dan multi tafsir. Kita perlu menegakkan hukum secara proporsional, profesional, dan berkeadilan. Kita perlu melindungi hak asasi manusia, terutama hak kebebasan berpendapat, berpikir, dan berkeyakinan. Kita perlu menjaga toleransi dan keragaman sebagai kekayaan bangsa. Kita perlu membangun budaya hukum yang beradab dan berperikemanusiaan. Kita perlu mewujudkan Indonesia yang damai, sejahtera, dan maju.