jfid – Pada pekan kedua September 2023, Bank Indonesia (BI) mencatat adanya aliran modal asing yang keluar dari pasar keuangan Indonesia sebesar Rp4,45 triliun. Mayoritas dana asing itu ditarik dari pasar Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp3,98 triliun, sementara sisanya dari pasar saham sebesar Rp470 miliar. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: mengapa investor asing menarik modal dari pasar uang Indonesia?
Faktor Eksternal: Ketidakpastian Global
Salah satu faktor yang mempengaruhi keputusan investor asing adalah kondisi ekonomi dan politik global. Pada pekan kedua September 2023, terjadi beberapa peristiwa penting yang menimbulkan ketidakpastian di pasar global, antara lain:
KTT ASEAN 2023 di Manila, Filipina, yang membahas isu-isu kawasan seperti pandemi COVID-19, krisis Myanmar, sengketa Laut China Selatan, dan kerja sama ekonomi.
FIBA Basketball World Cup 2023 di Jepang, China, dan Filipina, yang menjadi ajang kompetisi dan diplomasi olahraga antara negara-negara peserta.
Pemilihan umum parlemen Jerman, yang menentukan siapa yang akan menggantikan Angela Merkel sebagai kanselir Jerman setelah 16 tahun berkuasa.
Peristiwa-peristiwa ini berpotensi memicu perubahan kebijakan dan sikap dari negara-negara besar dan berpengaruh di dunia, yang dapat memengaruhi arah dan dinamika perekonomian global. Investor asing cenderung menghindari risiko dan mencari tempat yang lebih aman untuk menempatkan modalnya, seperti surat utang pemerintah AS (US Treasury) yang dianggap sebagai safe haven.
Faktor Internal: Tekanan Rupiah dan Inflasi
Selain faktor eksternal, faktor internal juga berperan dalam menentukan minat investor asing terhadap pasar uang Indonesia. Pada pekan kedua September 2023, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah dari Rp14.270 per dolar AS pada 11 September menjadi Rp14.340 per dolar AS pada 15 September. Pelemahan rupiah ini dipicu oleh permintaan dolar AS yang meningkat seiring dengan ekspektasi kenaikan suku bunga acuan The Fed (bank sentral AS) pada akhir tahun 2023.
Selain itu, inflasi Indonesia pada Agustus 2023 mencapai 1,94 persen (yoy), naik dari 1,52 persen (yoy) pada Juli 2023. Kenaikan inflasi ini disebabkan oleh faktor musiman seperti kenaikan harga bahan pangan menjelang Hari Raya Idul Adha dan kenaikan tarif angkutan udara akibat lonjakan permintaan transportasi saat libur panjang. Inflasi yang tinggi dapat menggerus daya beli masyarakat dan mengurangi daya saing produk domestik.
Pelemahan rupiah dan kenaikan inflasi ini dapat menurunkan imbal hasil riil (real yield) SBN Indonesia, yaitu selisih antara imbal hasil nominal (nominal yield) SBN dengan tingkat inflasi. Imbal hasil riil SBN Indonesia menunjukkan tingkat pengembalian yang diperoleh investor setelah dikurangi dengan efek inflasi. Semakin rendah imbal hasil riil SBN Indonesia, semakin rendah pula daya tariknya bagi investor asing.
Respons BI: Koordinasi dan Optimisasi Kebijakan
Menanggapi fenomena aliran modal asing keluar dari pasar uang Indonesia, BI mengambil beberapa langkah untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan. Langkah-langkah tersebut antara lain:
Memperkuat koordinasi dengan pemerintah dan otoritas terkait, seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), untuk mengawasi perkembangan pasar keuangan dan mengambil tindakan yang diperlukan.
Mengoptimalkan strategi bauran kebijakan, seperti menjaga stabilitas nilai tukar rupiah sesuai dengan fundamentalnya, mengendalikan inflasi di dalam sasaran, dan mendorong pemulihan ekonomi melalui stimulus fiskal dan moneter.
Menjaga likuiditas pasar uang dan perbankan, seperti menyediakan fasilitas pinjaman likuiditas jangka pendek (FPJP) dan likuiditas intraday (LID), serta melakukan operasi pasar terbuka (OPT) untuk memenuhi kebutuhan likuiditas SBN.
BI juga menyampaikan optimisme bahwa aliran modal asing akan kembali masuk ke pasar uang Indonesia seiring dengan membaiknya prospek ekonomi Indonesia. BI memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023 sebesar 4,1-5,1 persen, didorong oleh peningkatan konsumsi rumah tangga, investasi, ekspor, dan belanja pemerintah. Selain itu, BI juga menilai bahwa Indonesia masih memiliki daya tarik investasi yang tinggi, ditunjukkan oleh peringkat investasi yang stabil dari lembaga pemeringkat internasional seperti Moody’s, Fitch, dan S&P.