PBNU: Jangan Ambil Tanah Rakyat dengan Cara Kekerasan

Rasyiqi By Rasyiqi - Writer, Saintific Enthusiast
5 Min Read
Foto Depan Kantor PKB (CNN)
Foto Depan Kantor PKB (CNN)
- Advertisement -

jfid – Pulau Rempang, sebuah pulau kecil di Kepulauan Riau, menjadi saksi bisu konflik antara warga dan pemerintah. Sejak tahun 2019, pulau ini menjadi lokasi proyek strategis nasional (PSN) yang meliputi pembangunan jembatan, jalan tol, dan kawasan industri. Namun, proyek tersebut menimbulkan masalah bagi warga setempat yang mengklaim memiliki hak atas tanah yang akan digunakan untuk proyek.

Pada 12 September 2023, bentrokan terjadi antara warga dan aparat gabungan yang hendak melakukan pengosongan lahan. Warga menolak untuk meninggalkan tanah mereka tanpa mendapatkan ganti rugi yang adil dan sesuai dengan nilai pasar. Mereka juga menuntut pemerintah untuk menghormati hak-hak mereka sebagai warga negara dan pemilik tanah.

Sementara itu, pemerintah berdalih bahwa proyek PSN di Pulau Rempang adalah untuk kepentingan umum dan kesejahteraan rakyat. Pemerintah juga mengklaim bahwa mereka sudah memberikan kompensasi yang layak kepada warga yang bersedia menyerahkan tanah mereka. Namun, warga merasa bahwa kompensasi tersebut tidak sebanding dengan kerugian yang mereka alami akibat proyek PSN.

Konflik ini menarik perhatian berbagai kalangan, termasuk organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Pada 15 September 2023, PBNU mengeluarkan pernyataan resmi yang berisi pandangan dan rekomendasi mereka terkait konflik di Pulau Rempang.

Ad image

Dalam pernyataannya, PBNU menegaskan bahwa pengambilalihan tanah oleh pemerintah dari rakyat yang sudah mengelola tanah tersebut selama bertahun-tahun adalah haram jika dilakukan dengan cara sewenang-wenang. PBNU mengacu pada konsep iqtha’ (redistribusi lahan) dan ihya’ (pengelolaan lahan) dalam hukum Islam yang mengatur tentang hak-hak atas tanah.

“PBNU berpandangan bahwa tanah yang sudah dikelola oleh rakyat selama bertahun-tahun, baik melalui proses iqtha’ (redistribusi lahan) oleh pemerintah atau ihya’ (pengelolaan lahan), maka hukum pengambilalihan tanah oleh pemerintah adalah haram jika dilakukan sewenang-wenang,” kata Ketua Umum PBNU, Yahya Cholil Staquf di Kantor PBNU, Jakarta Pusat.

Namun, PBNU juga menyadari bahwa pemerintah memiliki fungsi sosial dalam mengatur penggunaan tanah untuk kepentingan umum. Oleh karena itu, PBNU tidak menolak secara mutlak pengambilalihan tanah oleh pemerintah asalkan dilakukan dengan syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat tersebut antara lain adalah sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan, dilakukan secara adil dan transparan, serta bertujuan untuk menciptakan kemakmuran rakyat.

“Langkah tersebut dilakukan dengan tujuan untuk menciptakan kemakmuran rakyat,” ujar Yahya.

Selain itu, PBNU juga merekomendasikan pemerintah untuk memperbaiki pola komunikasi dan mau memenuhi hak-hak kelompok yang lemah (mustadh’afin). PBNU menilai bahwa konflik di Pulau Rempang sebagian besar disebabkan oleh kurangnya dialog dan koordinasi antara pemerintah dan warga. PBNU mengajak pemerintah untuk menghadirkan pola komunikasi yang solutif untuk menyelesaikan persoalan ini dan memberikan afirmasi untuk para mustadh’afin.

“Pemerintah harus menghadirkan pola komunikasi yang solutif untuk menyelesaikan persoalan ini dan memberikan afirmasi untuk para mustadh’afin,” kata Yahya.

Di sisi lain, PBNU juga mendorong pemerintah pusat dan daerah untuk meyakinkan masyarakat mengenai pentingnya proyek PSN di Pulau Rempang dan kemaslahatan bagi masyarakat umum. PBNU ingin pemerintah memastikan bahwa dalam proses pengambilalihan lahan tidak ada perampasan hak-hak warga, potensi kerusakan lingkungan hidup, dan sumber daya alam. PBNU juga mengimbau warga untuk bersikap kooperatif dan tidak melakukan tindakan anarkis yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain.

“PBNU membersamai dan terus mengawal perjuangan rakyat untuk mendapatkan keadilan melalui cara-cara yang sesuai kaidah hukum dan konstitusi,” tegas Yahya.

Pernyataan PBNU ini diharapkan dapat menjadi jembatan rekonsiliasi antara pemerintah dan warga Pulau Rempang. Dengan demikian, konflik yang sudah berlangsung selama empat tahun ini dapat diselesaikan dengan damai dan adil. Semoga.

- Advertisement -
Share This Article