jfid – Mahkamah Konstitusi (MK) Indonesia yang diwakili oleh hakim konstitusi Arief Hidayat baru-baru ini memperkenalkan Asociation of Asian Constitutional Court and Equivalent Institutions (AACC) kepada Mahkamah Agung (MA) Jepang.
AACC adalah sebuah organisasi kerjasama antara lembaga peradilan konstitusi dan sejenisnya di Asia yang bertujuan untuk mempromosikan demokrasi, hak asasi manusia, dan supremasi hukum.
Saat ini, MK Indonesia sebagai Sekretariat Tetap Bidang Perencanaan dan Koordinasi AACC. Kedua negara juga sepakat untuk mempererat kerja sama ke depan.
Namun, apakah ajakan MK Indonesia kepada MA Jepang untuk bergabung dengan AACC itu tanpa risiko? Apakah ada potensi konflik atau ketegangan antara kedua negara atau antara AACC dengan organisasi lain? Bagaimana pula tanggapan dari negara-negara anggota AACC lainnya?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita perlu melihat latar belakang dan konteks dari hubungan antara MK Indonesia dan MA Jepang, serta antara AACC dan organisasi-organisasi serupa di dunia.
MK Indonesia dan MA Jepang: Sistem Hukum yang Berbeda
Meskipun Indonesia dan Jepang sama-sama memiliki sistem hukum yang bercorak campuran (mixed legal system), namun ada perbedaan mendasar antara keduanya.
Indonesia menganut sistem hukum civil law yang dipengaruhi oleh hukum Belanda, sementara Jepang menganut sistem hukum civil law yang dipengaruhi oleh hukum Jerman.
Selain itu, Indonesia juga memiliki pengaruh dari hukum adat dan hukum Islam, sedangkan Jepang memiliki pengaruh dari hukum tradisional Jepang (yamato) dan hukum Anglo-Amerika.
Perbedaan sistem hukum ini juga berdampak pada struktur dan kewenangan lembaga peradilan di kedua negara. Di Indonesia, MK adalah lembaga peradilan khusus yang berwenang menguji undang-undang terhadap konstitusi, menyelesaikan sengketa kewenangan lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, serta memeriksa hasil pemilihan umum.
Di Jepang, tidak ada lembaga peradilan khusus yang setara dengan MK. MA Jepang adalah lembaga peradilan tertinggi yang berwenang mengadili perkara-perkara pidana, perdata, administratif, dan konstitusional.
MA Jepang juga memiliki kewenangan untuk meninjau keputusan-keputusan pengadilan tingkat bawah, termasuk pengadilan tinggi khusus yang menangani perkara-perkara pemilu.
Dengan demikian, MK Indonesia dan MA Jepang memiliki karakteristik dan fungsi yang berbeda. MK Indonesia lebih fokus pada perlindungan konstitusi dan hak asasi manusia, sedangkan MA Jepang lebih fokus pada penegakan hukum secara umum. Hal ini juga tercermin dalam keikutsertaan mereka dalam organisasi-organisasi internasional.
AACC dan Organisasi Lain: Persaingan atau Kerjasama?
AACC adalah salah satu dari beberapa organisasi internasional yang menghimpun lembaga peradilan konstitusi dan sejenisnya di dunia.
Organisasi lain yang memiliki tujuan serupa antara lain adalah Venice Commission (European Commission for Democracy through Law), Conference of European Constitutional Courts (CECC), Association of Constitutional Courts using the French Language (ACCPUF), Ibero-American Conference of Constitutional Justice (CIJC), Southern African Chief Justices Forum (SACJF), Conference of Constitutional Jurisdictions of Africa (CCJA), Arab Association of Constitutional Law (AACL), Association of Pacific Island Chief Justices (APICJ), Commonwealth Magistrates’ and Judges’ Association (CMJA), World Conference on Constitutional Justice (WCCJ), dan International Association of Constitutional Law (IACL).
Organisasi-organisasi ini memiliki cakupan geografis, anggota, dan aktivitas yang berbeda-beda. Beberapa organisasi bersifat regional, seperti AACC yang mencakup Asia, CECC yang mencakup Eropa, dan CIJC yang mencakup Amerika Latin dan Karibia.
Beberapa organisasi bersifat global, seperti WCCJ yang mencakup semua benua, dan IACL yang mencakup semua negara.
Beberapa organisasi bersifat tematik, seperti ACCPUF yang mencakup negara-negara yang menggunakan bahasa Prancis, dan AACL yang mencakup negara-negara Arab.
Beberapa organisasi bersifat spesifik, seperti APICJ yang mencakup kepala-kepala pengadilan di negara-negara Pasifik, dan CMJA yang mencakup hakim-hakim di negara-negara Persemakmuran.
Dengan adanya banyak organisasi internasional yang memiliki tujuan serupa, apakah ada potensi persaingan atau kerjasama antara mereka? Menurut penelitian dari beberapa akademisi, tidak ada bukti adanya persaingan atau konflik antara organisasi-organisasi tersebut. Justru sebaliknya, ada banyak bukti adanya kerjasama dan koordinasi antara mereka.
Misalnya, AACC dan Venice Commission memiliki memorandum of understanding (MoU) untuk saling berbagi informasi dan pengalaman.
AACC juga memiliki hubungan baik dengan WCCJ, yang merupakan forum global bagi semua organisasi regional. Selain itu, AACC juga terbuka untuk menerima anggota baru dari negara-negara Asia yang belum bergabung.
Dengan demikian, ajakan MK Indonesia kepada MA Jepang untuk bergabung dengan AACC tidak perlu dikhawatirkan akan menimbulkan risiko konflik atau ketegangan antara kedua negara atau antara AACC dengan organisasi lain.
Justru sebaliknya, ajakan tersebut dapat menjadi peluang untuk meningkatkan kerjasama dan pertukaran pengetahuan antara lembaga peradilan konstitusi dan sejenisnya di Asia dan di dunia.
MK Indonesia sebagai Sekretariat Tetap Bidang Perencanaan dan Koordinasi AACC telah memperkenalkan AACC kepada MA Jepang dan mengajaknya untuk bergabung dengan organisasi tersebut.
Ajakan ini didasarkan pada semangat penegakan hukum, hak asasi manusia, dan demokrasi yang sama antara kedua negara.
Namun, ajakan ini juga harus memperhatikan perbedaan sistem hukum dan kewenangan lembaga peradilan di kedua negara.
Selain itu, ajakan ini juga harus mempertimbangkan hubungan antara AACC dengan organisasi-organisasi internasional lain yang memiliki tujuan serupa.
Justru sebaliknya, ajakan tersebut dapat menjadi peluang untuk meningkatkan kerjasama dan pertukaran pengetahuan antara lembaga peradilan konstitusi dan sejenisnya di Asia dan di dunia.