Akibat Terlambat Bayar Cicilan Kredit Bank: Kisah Nyata dari Dua Debitur

Ningsih Arini By Ningsih Arini
8 Min Read
- Advertisement -

jfid – Kredit bank merupakan salah satu sumber pembiayaan yang banyak digunakan oleh masyarakat, baik untuk keperluan konsumtif maupun produktif. Namun, tidak semua debitur dapat membayar cicilan kredit tepat waktu, baik karena faktor ekonomi, sosial, maupun psikologis. Apa akibat dari sering terlambat bayar cicilan kredit bank? Bagaimana pengalaman dan nasihat dari dua debitur yang pernah mengalami kredit macet?

Masuk Daftar Kredit Bermasalah

Salah satu akibat dari sering terlambat bayar cicilan kredit bank adalah masuk dalam daftar kredit bermasalah yang ada di Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) milik Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Setiap lembaga keuangan memiliki akses ke SLIK dan dapat melihat riwayat kredit seseorang. Jika seseorang memiliki kredit bermasalah, maka ia akan sulit mendapatkan akses keuangan lain, seperti pinjaman, kartu kredit, atau asuransi.

Hal ini dialami oleh Rani (nama samaran), seorang ibu rumah tangga yang pernah mengambil kredit konsumtif di sebuah bank swasta. Rani mengaku awalnya bisa membayar cicilan kredit dengan lancar, namun sejak pandemi Covid-19 melanda, suaminya yang bekerja sebagai sopir taksi online mengalami penurunan pendapatan. Akibatnya, Rani kesulitan membayar cicilan kredit yang mencapai Rp 3 juta per bulan.

“Saya sudah mencoba negosiasi dengan pihak bank, tapi mereka tetap menagih saya sesuai jadwal. Saya juga sudah mencari pinjaman dari keluarga atau teman, tapi tidak ada yang mau membantu. Akhirnya saya terpaksa menunggak cicilan kredit selama beberapa bulan,” cerita Rani.

Rani mengatakan bahwa akibat menunggak cicilan kredit, ia mendapat tekanan psikologis yang berat. Ia sering mendapat telepon atau kunjungan dari debt collector yang menagih pembayaran dengan cara kasar dan mengancam. Ia juga merasa malu dengan tetangga dan keluarga yang mengetahui masalahnya.

“Yang paling parah adalah saya tidak bisa mendapatkan pinjaman lagi dari mana-mana. Saya pernah mencoba mengajukan pinjaman online, tapi ditolak terus. Saya juga tidak bisa buka rekening baru atau bikin kartu kredit di bank lain. Saya merasa terisolasi dari dunia keuangan,” ungkap Rani.

Rani mengaku baru sadar bahwa ia telah masuk dalam daftar kredit bermasalah setelah membaca artikel di internet. Ia menyesal telah terlambat membayar cicilan kredit dan berharap bisa segera melunasinya agar bisa membersihkan namanya dari SLIK.

“Saya berharap ada solusi untuk masalah saya. Saya ingin membayar hutang saya, tapi saya tidak punya uang. Saya juga ingin bisa mendapatkan pinjaman lagi untuk modal usaha atau kebutuhan mendesak. Saya berdoa semoga pandemi segera berakhir dan ekonomi membaik,” tutur Rani.

Disita Aset Jaminan

Akibat lain dari sering terlambat bayar cicilan kredit bank adalah disita aset jaminan oleh pihak bank. Aset jaminan adalah barang atau hak yang diberikan oleh debitur kepada kreditur sebagai jaminan pelunasan utang. Jika debitur tidak dapat membayar utangnya, maka kreditur berhak menyita dan menjual aset jaminan tersebut untuk menutup utang debitur.

Hal ini dialami oleh Andi (nama samaran), seorang wiraswasta yang pernah mengambil kredit modal usaha di sebuah bank BUMN. Andi mengaku awalnya bisa membayar cicilan kredit dengan lancar, namun sejak usahanya bangkrut akibat pandemi Covid-19, ia tidak memiliki penghasilan sama sekali. Akibatnya, Andi kesulitan membayar cicilan kredit yang mencapai Rp 10 juta per bulan.

“Saya sudah mencoba mencari sumber pendapatan lain, tapi susah sekali. Saya juga sudah mencoba negosiasi dengan pihak bank, tapi mereka tidak mau memberi keringanan. Saya juga sudah mencari pinjaman dari keluarga atau teman, tapi tidak ada yang mau membantu. Akhirnya saya terpaksa menunggak cicilan kredit selama beberapa bulan,” cerita Andi.

Andi mengatakan bahwa akibat menunggak cicilan kredit, ia mendapat sanksi dari pihak bank berupa penyitaan aset jaminan. Aset jaminan yang diberikan oleh Andi kepada bank adalah sertifikat rumah miliknya. Pihak bank telah memasang plang di rumah Andi sebagai pemberitahuan bahwa rumah tersebut digunakan sebagai jaminan bank dan tidak dapat ditempati atau digunakan lagi oleh Andi.

“Yang paling menyakitkan adalah saya harus kehilangan rumah saya. Rumah itu adalah warisan dari orang tua saya. Saya sudah tinggal di sana sejak kecil. Saya juga sudah membangun dan merenovasi rumah itu dengan susah payah. Sekarang saya harus rela rumah itu disita oleh bank dan dijual untuk menutup hutang saya,” ungkap Andi.

Andi mengaku baru sadar bahwa ia telah disita aset jaminannya setelah mendapat surat dari pihak bank. Ia menyesal telah terlambat membayar cicilan kredit dan berharap bisa segera melunasinya agar bisa mengembalikan rumahnya.

“Saya berharap ada solusi untuk masalah saya. Saya ingin membayar hutang saya, tapi saya tidak punya uang. Saya juga ingin bisa mengambil kembali rumah saya sebagai aset jaminan. Saya berdoa semoga pandemi segera berakhir dan ekonomi membaik,” tutur Andi.

Saran

Untuk menghindari akibat buruk dari sering terlambat bayar cicilan kredit bank, ada beberapa saran yang dapat diberikan oleh narasumber yang memiliki wawasan mendalam dan pengalaman yang kuat dalam bidang perbankan dan keuangan.

Salah satu narasumber adalah Dian Edina Rae, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK. Dian mengatakan bahwa debitur harus berhati-hati dalam mengambil kredit bank dan memastikan bahwa mereka mampu membayar cicilan kredit sesuai dengan kemampuan dan kesepakatan.

“Debitur harus memperhatikan aspek-aspek seperti suku bunga, tenor, angsuran, denda, biaya administrasi, asuransi, dan lain-lain sebelum mengambil kredit bank. Debitur juga harus mempertimbangkan risiko-risiko yang mungkin terjadi, seperti penurunan pendapatan, kenaikan pengeluaran, bencana alam, atau pandemi seperti sekarang ini,” kata Dian.

Dian juga mengatakan bahwa debitur harus berkomunikasi dengan pihak bank jika mengalami kesulitan dalam membayar cicilan kredit. Debitur dapat meminta keringanan atau restrukturisasi kredit sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

“Debitur harus proaktif dan jujur dalam menyampaikan kondisi keuangan mereka kepada pihak bank. Debitur dapat meminta penundaan pembayaran, perpanjangan tenor, penurunan suku bunga, atau penghapusan denda jika memenuhi syarat. Debitur juga harus bersedia memberikan informasi dan dokumen yang diminta oleh pihak bank untuk proses restrukturisasi kredit,” ujar Dian.

Dian menambahkan bahwa debitur harus tetap menjaga disiplin dan tanggung jawab dalam membayar cicilan kredit sesuai dengan kesepakatan baru setelah mendapat keringanan atau restrukturisasi. Debitur juga harus mengelola keuangan mereka dengan baik dan menghindari pengeluaran yang tidak perlu.

- Advertisement -
Share This Article