jfid – Pendapatan per kapita atau produk domestik bruto (PDB) per kapita sering digunakan sebagai indikator untuk mengukur tingkat kemiskinan suatu negara. Namun, angka-angka ini tidak selalu mencerminkan kenyataan hidup orang-orang yang berada di bawah garis kemiskinan. Siapa sebenarnya orang termiskin di dunia dan bagaimana kehidupannya?
Menurut data Dana Moneter Internasional (IMF) tahun 2021, negara termiskin di dunia adalah Burundi, dengan PDB per kapita sebesar 760 dolar AS per tahun. Burundi merupakan negara kecil yang terkurung daratan di Afrika Timur, yang diliputi oleh konflik etnis Hutu-Tutsi dan perang saudara. Sekitar 90% dari hampir 12 juta warganya bergantung pada pertanian subsisten. Kelangkaan pangan menjadi perhatian utama, dengan tingkat kerawanan pangan hampir dua kali lebih tinggi dari rata-rata negara-negara Afrika sub-Sahara. Selain itu, akses terhadap air dan sanitasi masih sangat rendah, dan kurang dari 5% penduduk yang terfasilitasi dengan listrik. Kondisi demikian menjadi lebih parah dengan adanya pandemi Covid-19.
Salah satu contoh orang termiskin di Burundi adalah Jeanne Niyonzima, seorang ibu tunggal yang tinggal di desa Gihanga, provinsi Bubanza. Jeanne memiliki lima anak, yang semuanya masih bersekolah. Dia bekerja sebagai buruh tani dengan upah sekitar 500 franc Burundi (sekitar 0,25 dolar AS) per hari. Dengan penghasilan tersebut, dia harus memenuhi kebutuhan makan, pakaian, kesehatan, dan pendidikan anak-anaknya.
Jeanne mengatakan bahwa dia sering tidak bisa memberi makan anak-anaknya lebih dari sekali sehari. Makanan pokok mereka adalah ubi jalar, yang dimasak tanpa garam atau minyak. Kadang-kadang, dia juga membeli jagung atau kacang-kacangan jika ada uang sisa. Dia tidak mampu membeli daging, telur, susu, atau buah-buahan untuk anak-anaknya.
“Kami hidup dalam kemiskinan ekstrem. Kami tidak punya apa-apa selain pakaian yang kami kenakan. Kami tidak punya tempat tidur, selimut, atau kelambu. Kami tidur di lantai tanah yang dingin dan lembab,” kata Jeanne.
Jeanne juga menghadapi masalah kesehatan yang serius. Dia menderita malaria kronis, anemia, dan infeksi saluran kemih. Dia tidak bisa membayar biaya pengobatan di puskesmas terdekat, yang sekitar 10 kilometer dari rumahnya. Dia hanya mengandalkan obat tradisional yang dibuat dari tanaman liar.
“Kesehatan saya sangat buruk. Saya merasa lemah dan sakit setiap hari. Saya tidak bisa bekerja dengan baik dan mengurus anak-anak saya. Saya takut saya akan mati dan meninggalkan mereka tanpa siapa-siapa,” ujar Jeanne.
Jeanne berharap ada bantuan dari pemerintah atau organisasi kemanusiaan untuk membantu keluarganya keluar dari kemiskinan. Dia juga berharap ada perdamaian dan stabilitas di negaranya, agar bisa hidup dengan aman dan sejahtera.
“Kami ingin hidup seperti orang lain. Kami ingin makan tiga kali sehari, minum air bersih, mandi dengan sabun, memakai pakaian bersih, tidur di tempat tidur yang nyaman, belajar di sekolah yang baik, dan mendapatkan pekerjaan yang layak. Kami ingin memiliki masa depan yang cerah,” tutur Jeanne