jfid – Letnan Kolonel Candra Hasan adalah seorang tokoh revolusioner dari Madura. Dia adalah seorang ahli perang gerilya dan merupakan Komandan Resimen 35 Jokotole pada era Agresi Militer Belanda. Ada yang menyebutnya sebagai Jenderal Soedirman-nya Orang Madura.
Perlawanan Madura terhadap Belanda terjadi pada beberapa periode. Salah satunya adalah Pemberontakan Trunojoyo (atau Perang Trunajaya, Pemberontakan Trunojoyo) yang dilakukan oleh bangsawan Madura, Raden Trunojoyo, dan sekutunya, pasukan dari Makassar, terhadap Kesultanan Mataram yang dibantu oleh Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) di Jawa pada dekade 1670-an, dan berakhir dengan kemenangan Mataram dan VOC.
Sekilas Penjajahan Belanda di Madura
Pada awal abad ke-19 Masehi, Pemerintah Hindia Belanda mendirikan Keresidenan Madura di Pulau Madura. Keberadaan Keresidenan Madura berlanjut hingga masa pendudukan Jepang di Indonesia dan masa Pemerintah Indonesia.
Pada masa awal pemerintahan Indonesia, Keresidenan Madura diberi hak khusus untuk memindahkan Mahkamah Tentara Luar Biasa dalam keadaan darurat. Kerajaan-kerajaan di Madura merupakan wilayah yang tidak terikat dan tidak terlibat dalam persaingan politik antara para dinasti pada masa awal Islam di Jawa. Namun, akhirnya wilayah Madura dikuasai oleh Kesultanan Mataram.
Kerajaan-kerajaan di Madura kemudian memperoleh jaminan kebebasan dari Belanda terhadap pengaruh kerajaan-kerajaan di Jawa. Belanda memberikan jaminan kepada Kerajaan Sumenep pada pada tahun 1705. Kemudian pada tahun 1743, Belanda memberikan lagi jaminannya kepada Kerajaan Bangkalan. Belanda kemudia menggelari kedua penguasa di kerajaan tersebut dengan gelar yang setingkat dengan gelar raja-raja Kesunanan Surakarta Hadiningrat dan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Pada tahun 1828, Keresidenan Madura dihapuskan dan digabungkan sebagai bagian dari Keresidenan Surabaya. Belanda kemudian memberikan gelar tertinggi kepada tiga raja yang berkuasa di Madura. Gelar yang diberikan disamakan dengan gelar raja-raja Surakarta dan Yogyakarta. Pemberian gelar dari Belanda dianggap sebagai penanda posisi kerajaan-kerajaan di Madura sebagai bawahan Belanda. Raja Kerajaan Sumenep diberi gelar sultan pada tahun 1825. Raja di Kerajaan Pamekasan diberi gelar panembahan oleh Belanda pada tahun 1830. Kemudian raja Kerajaan Bangkalan diberi gelar panembahan pada tahun 1847.
Keresidenan Madura kemudian dibentuk kembali oleh Residen Belanda pada tahun 1857. Tujuannya untuk memperkuat kekuasaan politik Belanda di Madura. Belanda menetapkan ibu kota Keresidenan Madura di Pamekasan. Di Kerajaan Sumenep dan Kerajaan Bangkalan, Belanda menetapkan seorang asisten residen sebagai perwakilannya. Kedua kerajaan ini masing-masing dianggap sebagai sebuah kabupaten. Dalam perkembangannya, wilayah kedua kerajaan ini dipersempit hingga akhirnya statusnya sebagai kerajaan dihilangkan. Kerajaan Pamekasan dihilangkan statusnya pada tahun 1858. Kemudian diikuti oleh Kerajaan Sumenep pada tahun 1883 dan Kerajaan Bangkalan pada tahun 1885.
Madura pernah menjadi sebuah negara meskipun dalam waktu yang sangat singkat. Pada tanggal 20 Februari 1948, Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Hubertus Johannes Van Mook mengakui keberadaan negara Madura setelah wilayah tersebut menggelar pemungutan suara atau pemilihan umum. Namun, rakyat Madura menginginkan kembali ke NKRI setelah diselenggarakannya Konferensi Meja Bundar yang kemudian terbentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan kepala negara atau presidennya yakni Soekarno dan Muh. Hatta sebagai perdana menteri. Semangat Madura untuk bergabung kembali ke pangkuan NKRI semakin berkobar bersamaan dengan perkembangan politik hasil perundingan meja bundar yang dilaksanakan di Deen Haag 23 Agustus – 2 November 1949.
Arek Lancor adalah monumen perjuangan yang terletak di jantung kota Pamekasan, Madura. Monumen ini dibuat sebagai bentuk penghargaan dan pengabdian pada para pejuang yang telah mempertahankan dan membebaskan daerah mereka dari tangan penjajah. Menurut catatan sejarah, Arek Lancor merupakan senjata khas orang Madura khususnya Madura Pamekasan pada Abad ke-8 M, yaitu pada saat melawan kekejaman kolonialis Belanda.
Di Arek Lancor inilah saksi, pertempuran pejuang Madura yang terdiri dari santri dan kyai yang dipimpin Candra Hasan yang kala itu sebagai komandan resimen 35 Jokotole. Dalam tutur cerita masyarakat, banyak berjatuhan korban, baik tentara Belanda maupun rakyat Madura. Dan Candra Hasan mengambil sikap untuk melakukan perang geriliya pada 14 November 1947, memerintahkan seluruh pasukan yang ada di Madura untuk pergi ke Kediri.