jfid — Platform shoppertainment Tiktok Shop melakukan pengembangan pangsa pasar secara masif. Namun, manuver bisnis Tiktok berjuluk ”Project S” berpotensi menimbulkan kompetisi usaha yang tak imbang. Proyek ini menempatkan Tiktok bukan hanya sebagai penyedia jasa layanan media sosial, melainkan juga penjual yang mencari untung dari transaksi ritel.
Asia Tenggara, khususnya Indonesia, merupakan kawasan yang memiliki potensi pasar ekonomi digital yang besar. Potensi itu menjadi lahan subur bagi perusahaan teknologi, baik dari kelompok media sosial atau medsos maupun dari golongan penyedia sarana perdagangan digital atau e-dagang.
Ditinjau dari segi peluang pasar, berdasarkan data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), penetrasi internet secara nasional mencapai 78,19 persen. Jika dihitung dari keseluruhan populasi, terdapat sekitar 215,6 juta pengguna internet di Indonesia pada 2023 ini.
Pengguna jasa layanan internet yang besar itu linear dengan potensi nilai ekonomi yang sangat tinggi. Merujuk laporan berjudul ”Shoppertainment: APAC’s Trillion-Dollar Opportunity” yang dipublikasikan Tiktok bekerja sama dengan Boston Consulting Group pada 2022 mengindikasikan adanya potensi pasar perdagangan digital yang begitu besar. Pada periode 2022 di kawasan Asia Pasifik tercatat nilai komoditas yang terjual melalui platform e-dagang dan shoppertainment mencapai 3,1 triliun dollar AS. Proporsi nilai pasar shoppertainment sendiri berada di kisaran 500 miliar dollar AS. Dalam dokumen laporan yang sama, potensi pasar shoppertainment pada 2025 diprediksi mencapai 1,1 triliun dollar AS.
Shoppertainment dan platform e-dagang memiliki karakter yang berbeda. Meski sama-sama untuk berjualan secara daring, shoppertainment dikonsep lebih menarik dan berbalut hiburan. Definisi ini berkaitan dengan kegiatan perdagangan daring yang dimotori oleh konten di medsos yang bersifat menghibur dan edukatif. Pemasaran shoppertainment cenderung secara halus dalam memengaruhi calon pembelinya dengan memanfaatkan konten digital sehingga tidak terkesan memaksa (hard selling) audiens membeli suatu produk.
Saat ini ranah shoppertainment terbesar hanya ada di Tiktok. Potensi pasar yang dapat diraup Tiktok Shop di Indonesia sangat besar, mencapai 113 juta pengguna. Angka ini menduduki peringkat kedua terbesar di dunia setelah warganet Amerika Serikat yang mencapai 116,5 juta pengguna.
Khusus Indonesia, jumlah pengunjung lokapasar (marketplace) yang beroperasi di Indonesia tak terpaut jauh dengan pengguna aktif Tiktok. Merujuk data dari SimilarWeb, pada kuartal I-2023 jumlah pengunjung Shopee sebagai lokapasar peringkat pertama di Indonesia menorehkan angka 158 juta pengunjung per bulan.
Kemudian disusul Tokopedia dengan 117 juta pengunjung, Lazada pada urutan ketiga (83,2 juta pengunjung), Blibli (25,4 juta pengunjung), dan terakhir Bukalapak (18,1 juta pengunjung). Dapat dibayangkan apabila sebagian besar pengguna aktif Tiktok beralih belanja melalui Tiktok Shop, maka akan mengubah peta persaingan platform e-dagang secara masif. Bahkan, lokapasar daring itu pun kemungkinan akan sulit menandingi Tiktok.
Peta persaingan
Persaingan antara Tiktok Shop dan lokapasar lainnya, seperti Shopee, Lazada, Tokopedia, Blibli, dan Bukalapak, tidak bisa dikatakan setara. Sebab, aktivitas utama khalayak pengguna layanannya bertolak belakang. Tiktok bermodalkan kelompok audiens medsos yang sudah terjaring melalui format video pendek. Sementara itu, platform e-dagang diciptakan untuk meladeni pengguna yang tujuan utamanya berbelanja.
Memang pada perkembangannya, platform e-dagang memiliki fitur yang mirip dengan Tiktok Shop. Lokapasar Shopee mulai meluncurkan Shopee Live pada 6 Juni 2019. Begitu pula Tokopedia menawarkan layanan Tokopedia Play Live Shopping saat jelang Ramadhan 2020. Dilihat dari linimasanya, sebenarnya Tiktok Shop tergolong paling muda karena baru diperkenalkan pada April 2021. Namun, dalam perkembangannya, Tiktok Shop menunjukkan perkembangan yang agresif.
Merujuk dari laporan yang dipublikasikan Momentum Works, sebuah firma konsultan bisnis dan teknologi yang bertajuk ”E-commerce in Southeast Asia 2023” didapati bahwa penjualan produk melalui Tiktok Shop tumbuh pesat. Pada pembukuan 2021 di tahun peluncurannya, Tiktok Shop khusus di kawasan Asia Tenggara mampu menyalurkan produk senilai 600 juta dollar AS. Pada tahun berikutnya meroket di level 4,3 miliar dollar AS atau tumbuh tujuh kali lipat dari tahun sebelumnya. Berdasarkan capaian tersebut, Momentum Works memprediksi pada 2023 nilai transaksi melalui Tiktok Shop berpotensi tutup buku di angka 15 miliar dollar AS atau berkisar Rp 225 triliun.
Berpatokan pada nilai transaksi Tiktok Shop tahun 2022, sesungguhnya masih terjal dan panjang jalan Tiktok Shop untuk mampu menyaingi tiga besar lokapasar di Asia Tenggara. Pada periode itu, posisi tertinggi diduduki Shopee dengan nilai penjualan 47,9 miliar dollar AS. Disusul oleh Lazada yang membukukan penjualan 20,1 miliar dollar AS.
Shopee bertengger pada peringkat pertama sebagai e-dagang (e-commerce) yang paling laris di enam negara ASEAN. Keenam negara itu adalah Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, dan Filipina. Sementara Lazada ada di peringkat kedua kecuali di Indonesia karena peringkat kedua di Indonesia diisi Tokopedia dengan nilai transaksi 18,2 miliar dollar AS. Tokopedia menjadi lokapasar terbesar ketiga di Asia Tenggara berdasarkan nilai transaksinya.
Walaupun celah persaingan Tiktok Shop dengan lokapasar papan atas Asia Tenggara masih terpaut lebar, proyeksi itu menunjukkan betapa kian tipisnya jarak persaingan tersebut. Sangat terbuka kemungkinan dalam dua atau tiga tahun mendatang Tiktok Shop dapat bertengger di peringkat ketiga, bahkan kedua dalam pangsa pasar lokapasar. Untuk dapat sampai di sana, pihak Tiktok Shop berencana menginisiasi manuver yang terbilang unik dan bahkan kontroversial.
Di balik ”Project S”
Manuver Tiktok Shop itu didengungkan dengan nama Project S. Secara garis besar melalui proyek ini pihak Bytedance, induk perusahaan pemilik Tiktok, berniat menguasai sektor produksi dan penjualan sekaligus. Jika ditinjau dari ranah platform medsos, langkah ini merupakan hal yang baru. Dibandingkan dengan Instagram Shop, misalnya, beda lagi dengan Facebook Marketplace. Baik Instagram maupun Facebook tidak berkutat di ranah manufaktur produk yang dijual melalui platform medsos ataupun toko khusus milik perusahaan induk medsos itu.
Terkait hal ini, Financial Times membeberkan beberapa fakta di balik rencana Project S. Eksperimen terkait Project S sudah bergulir di Inggris dengan fitur baru bernama Trendy Beat. Fitur ini dapat dipahami posisinya sebagai sesama pedagang di Tiktok , tetapi dimiliki oleh Bytedance sendiri. Dengan demikian, melalui Project S, perusahaan Bytedance berupaya mengintegrasikan jaringan produsen yang notabene ada di China dengan Tiktok.
Sesungguhnya, upaya ini bukanlah yang pertama dilakukan Bytedance. Platform medsos Douyin, yakni aplikasi Tiktok versi dalam negeri (China), sudah menerapkan model bisnis serupa. Tercatat, model bisnis yang diterapkan pada Douyin mampu mendatangkan transaksi senilai lebih dari 10 miliar dollar AS per tahun. Hal ini dipandang sebagai keberhasilan yang akan diadopsi di Tiktok.
Melalui Project S, penyedia platform diharapkan dapat menjual produk yang mayoritas atau bahkan seluruhnya berasal dari China. Transaksinya bersifat langsung kepada konsumen tanpa melalui perantara. Keuntungan yang diperoleh tentu sangat besar karena selama ini Tiktok hanya mengutip sedikit dari aktivitas jual beli pada Tiktok Shop. Tentu saja keuntungannya akan berlipat-lipat jika penjualan berbagai produk itu melalui toko milik Bytedance sehingga keuntungan sepenuhnya jadi milik perusahaan.
Ancaman bagi Indonesia
Dengan model bisnis tersebut, harga produk dapat ditekan karena tidak ada perantara yang ikut mengambil laba. Menilik dari fitur Trendy Beat di Inggris, produk yang diperdagangkan memuat keterangan dikirim dari China. Kemudian berdasarkan penelusuran Financial Times, produk dijual atas nama perusahaan yang terdaftar di Singapura yang dinaungi oleh Bytedance. Artinya, produk yang diperdagangkan Trendy Beat itu dikirim langsung dari produsen China yang menjadi subsidiaries Bytedance. Secara bisnis memang sangat efektif dan efisien, tetapi bagi persaingan bisnis akan sangat merugikan bagi kompetitornya.
Apabila hal itu diterapkan di Indonesia, akan berpotensi mengancam keberlangsungan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Sektor yang terancam, antara lain, pedagang eceran yang mengelola toko daring dan produsen barang jadi yang menjual produknya secara daring. Produk-produk yang dihasilkan produsen China akan lebih mudah menarik peminat karena berharga lebih murah dengan kualitas lebih baik karena didukung teknologi yang mutakhir.
Salah satu bukti lemahnya persaingan itu terlihat pada 2021, di mana ketika Shopee menjual produk yang didatangkan langsung dari China. Akun pedagangnya tidak berada di Indonesia. Kala itu, ada belasan produk yang dilarang oleh pemerintah untuk dijual di Shopee apabila produknya didatangkan dari China. Produk yang dilarang merupakan jenis pakaian jadi (Kompas, 19/5/2023). Secara ekonomi, model perniagaan seperti itu tentu saja akan menguntungkan konsumen domestik karena dapat membeli produk bermutu dengan harga terjangkau. Namun, bagi usaha atau industri yang terdampak dapat menjadi persaingan yang sangat merugikan.
Terkait dengan fenomena itu, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Teten Masduki menyampaikan potensi perlindungan dari perdagangan luar negeri mencapai sekitar Rp 300 triliun per tahun. Berkaca dari pengalaman itu, pemerintah perlu mewaspadai dan memitigasi risiko terancamnya perekonomian nasional akibat masuknya produk impor dengan harga sangat murah.
Pemerintah harus menyediakan perlindungan dan juga proteksi bagi usaha dalam negeri agar tidak tergerus masifnya pasar digital yang merangsek dari segala arah. Pasar yang besar di Indonesia sudah sepatutnya menyejahterakan bangsa sendiri. (SUMBER: LITBANG KOMPAS)
SUMBER: https://komp.as/project-s-tiktok-dalam-persaingan-lokapasar-asing