Tabayun dan Character Assassination

Ilunk By Ilunk
9 Min Read
- Advertisement -

Oleh: Suaeb Qury
Ketua LTN NU NTB

jfid – Di tengah berkembangnya teknologi, tindakan manusia yang paling asasi masih terus berlangsung, meski dalam bentuk yang berbeda. Dalam kehidupan kita hari ini misalnya, pembunuhan karakter (character assassination) dilakukan dengan sistematis dan metodis dengan cara menyebarkan gibah, berita bohong, fitnah, maupun tekanan fisik, sampai pada pemusnahan jiwa dengan maksud merusak mental, reputasi, dan kepercayaan diri seseorang atau kelompok melalui media sosial.

Character assasination alias pembunuhan karakter adalah upaya merusak reputasi seseorang dengan cara menyebarkan informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, informasi yang tidak berdasarkan fakta. Upaya character assasination dapat berupa pernyataan yang berlebihan atau manipulasi fakta untuk memberikan citra yang buruk tentang orang tertentu.


Pembunuhan karakter kerap digunakan yang mengacu pada tindakan mencemarkan nama baik seseorang atau kelompok dengan pernyataan palsu. Banyak penulis menggunakannya sebagai elemen plot dalam karya mereka. Meskipun bukan konsep yang mudah untuk dipahami, pembunuhan karakter adalah konsekuensi alami dari sifat manusia.

Ad image


Kemunculan hal semacam ini salah satunya didorong oleh sikap kompleks superioritas, sebuah gangguan dalam jiwa seseorang yang dilatarbelakangi oleh keinginan untuk mencapai kesempurnaan di atas rata-rata, menjadi terdepan. Gangguan kejiwaan ini membuatnya selalu ingin menjadi individu yang paling unggul sehingga menggunakan cara-cara yang tidak elegan.


Hal tersebut menjadi salah satu cara yang dilakukan seseorang pengidap kompleks superioritas untuk mewujudkan ambisinya sebagai pribadi yang tampak super, unggul. Perilaku tersebut merupakan sebuah efek yang timbul dalam kehidupan bersama dan sarat dengan persaingan. Dalam kehidupan bersama konflik antar individu kerap melukis kehidupan sehari-hari sebagai resiko proses interaksi sosial.


Membudayakan Tabayyun
Maka character assassination dapat dicegak sebetulnya dengan tabayyun atau klarifikasi terhadap pihak terkait. Upaya sadar untuk mengurangi, menghilangkan, atau menistakan karakter seseorang atau lazim disebut character assassination atau pembunuhan karakter merupakan tindakan yang kurang berbudaya dan tidak baik. Tindakan tercela semacam itu perlu dikikis bahkan dipotong benihnya dalam Tindakan yang mendukung efektivitas relasi sosial dan silaturrahim kita sehari-hari.


Pada saat yang sama, keputusan yang kita ambil, tindak tanduk, kebiasaan, sikap, dan gaya bicara kita dapat diterima sekelompok orang tetapi belum tentu mendapat respon positif dari seseorang atau sekelompok orang lainnya. Secara sederhana, kita tidak mungkin menyenangkan semua orang.

Mungkin sebagian orang hampir pasti pernah menciptakan ketidaknyamanan kepada orang lain baik disengaja maupun tidak disengaja–sekecil apapun ketidaknyamanan yang kita timbulkan.
Jika kita belum bisa jadi orang alim, minimal kita cinta dengan orang alim. Jika kita belum bisa menjadi orang yang shaleh, minimal kita cinta dengan orang shaleh. Jika kita belum mampu menjadi orang berakhlak, minimal kita cinta dengan orang yang berakhlak. Bukan justru menghujatnya, menghinanya, mencacinya, dengan kata-kata kasar yang melukai umatnya.


Kita boleh tak sepakat dengan siapapun, namun, ketidak sepakatan itu bukan berarti boleh untuk tidak menghormatinya, apalagi mencelanya, menghina dsb. Semua manusia harus dihormati sebagai manusiannya, dan boleh tidak disukai perilakunya. Mengkritik seseorang, perlu dengan argumen yang logis serta dengan santun agar tidak berdosa, yaitu ketika melukai hatinya.


Jika asal misuh, mengumpat, mencerca, itu bukan kritikan tetapi penghinaan. Padahal, Allah SWT, Sang Pencipta sendiri berfirman. Dalam Al-Qur’an disebutkan: Sungguh kami (Allah) memulyakan anak keturunan Adam (QS. Al-Isra:70). Jika Sang Penciptanya saja menghormati manusia – ciptaan-Nya – waraskah kita jika saling mencela sesama manusia.


Ini disebut manajemen persona negatif dan merupakan sifat manusia yang umum. Kebanyakan orang tergoda untuk menyakiti orang lain dan kemudian membangun diri mereka sendiri di atas kemalangan sesama. Semua orang melakukan kesalahan tetapi tidak seorangpun memiliki hak sempurna untuk melakukan tindakan menghancurkan reputasi orang lain.


Meniadakan Celaan di Media Sosial
Belakangan ini di media sosial banyak lahir penghujat dan penghina dalam beragam bentuk. Dan yang mereka hujat bukanlah orang sembarangan, melainkan orang-orang yang berpengaruh, seperti presiden, gubernur, bupati, walikota dll. Dengan hinaan dan umpatan yang tidak pantas saya sebutakan di sini. Umpatan, cela’an dan hina’an itu sesungguhnya adalah bentuk ketidak mampuan memahami apa itu yang disebut kritikan dan apa itu hujatan.


Kritikan, adalah koreksi atas perilaku, tindakan atau kebijakan seseorang dengan argumen yang ilmiah dan logis, dengan bahasa yang santun, konstruktif dan proporsional. Hal ini beda dengan umpatan, celaan, hinaan, yang menilai sesuatu atas dasar kebencian, kata-kata kasar dan tidak dengan argumen logis dan ilmiah.

Umpatan dan sejenisnya itu merupakan ketidakmampuan seseorang melawan dengan terhormat, kecuali dalam keadaan yang genting dan menyakitkan menghadapi musuh.


Kebebasan di alam demokrasi, selain membawa kita menuju kebebasan berpikir, bukan berarti tanpa ancaman. Kebebasan itu disalahpahami dengan hak untuk melakukan apa saja: bicara, menulis dan bertindak semau-maunya. Padahal kebebasan adalah kemampuan untuk memahami batasan. Seperti halnya mutiara kata Arab:
حرية المرء محدود بحرية غيره; (kebebasan seseorang itu dibatasi oleh kebebasan orang lain). Dari itu, seiring meningkatnya ilmu pengetahuan, dengan demokrasi yang kebablasan, orang kini tak lagi bisa membedakan mana gorengan mana kotoran. Semua manusia dianggap sama. Di satu sisi menegakkan hak setiap orang, namun di sisi lain menyamaratakan “kualitas” seseorang. Padahal tetap saja ada perbedaannya. Nabi Muhammad memang manusia seperti halnya kita, tetapi ia juga bukan manusia biasa. Ibarat ia adalah batu intan permata, dan kita batu kali biasa.


Di media, kebenaran dianggap ucapan siapa pun yang sesuai dengan yang mereka suka. Bahkan, umpatan dan celaan bisa datang dari seorang anak ingusan di negeri ini. Di tengah kebenaran yang serba kabur ini, kita perlu kembali berpegang kepada akhlak nabi. Kita perlu mengingat kembali, visi nabi diutus ke dunia: menyempurnakan akhlak manusia (liutammima makaarimal akhlak).


Orang tergoda untuk menyakiti orang lain hanya untuk membuktikan bahwa mereka benar. Tidak ada orang yang sempurna, sehingga mereka tidak dapat menahan godaan untuk mengkritik orang lain. Hal ini biasanya dipicu oleh persaingan hidup yang tidak sehat antar individu atau antar kelompok. Hal ini bisa terjadi di dunia politik dan kehidupan sehari-hari. Persaingan tidak sehat bisa muncul kapan saja dan di mana saja.


Kecenderungan, kebutuhan, cara pandang, dan cara berpikir terhadap sebuah objek yang berbeda-beda pada setiap individu acapkali melahirkan perdebatan, ketegangan, konflik ide, bahkan berujung pada ranah yang lebih ekstrim, konflik fisik bagi mereka yang tidak mampu mengendalikan diri. Sebagai individu, kita tidak selalu berhadapan dengan hal-hal yang membuat kita merasa tentram dalam kehidupan kolektif.


Pada titik inilah, setiap orang berpotensi mengalami pembunuhan karakter. Seseorang yang merasa sebagai pesaing akan hadir dengan melakukan upaya character assasination. Siapa pun bisa menjadi korban pembunuhan karakter, baik itu nyata atau fiksi. Misalnya, seseorang dapat merusak reputasi orang lain untuk meningkatkan statusnya sendiri di komunitas atau tempat kerja.
.

- Advertisement -
TAGGED:
Share This Article