SDA Indonesia di antara Jepitan Ambisi Barat dan Idealisme Timur

Herry Santoso By Herry Santoso
10 Min Read
Gambar ilustrasi kekuatan barat dan timur (foto: istimewa)
Gambar ilustrasi kekuatan barat dan timur (foto: istimewa)

jfid – PERCAYA atau tidak, biaya perang Rusia – Ukraina membakar dana 117 triliyun rupiah/hari! Jumlah yang bukan main-main hanya untuk mempertahankan “harga diri” suatu bangsa, kelompok, atau aliansi. Dampaknya adalah melejitnya harga energi dunia khususnya minyak di pasar global sekitar US$ 125,-/barel, dan itu pun tidak tertutup kemungkinan masih terus merangkak naik. Belum lagi sumber energi yang lain laiknya batubara, nikel, tembaga, timah dan banyak lagi tentu dicari oleh negara yang terlibat perang dan aliansi.

Sekutu (Amerika Serikat, cs) adalah biang kerok keserakahan Barat. Di banyak negara minyak (Timur Tengah) AS berhasil memporak-porandakannya oleh strategi kelicikannya termasuk membenturkan beberapa mazhab agama, suku, dan golongan. Setelah berhasil akhirnya Sekutu membentuk pemerintahan pro Barat yang korup dan mudah diajak kompromi. Lybia, Irak, Yaman, Suriah adalah contoh negara besar yang berpengaruh di dunia internasional yang (kini) jadi remah-remah Barat. Bukan hanya itu, Timor Leste yang usia kemerdekaannya masih seumur jagung kini menjadi “negara termiskin di dunia” gara-gara ambisi aliansi Barat. Padahal ambisi Barat (baca : Australia) untuk menyokong Timor Timor dulu hanya karena mengincar minyak di cekungan Timor. Kini setelah sumur-sumur minyak itu mulai mengering, Australia cuma “angkat bahu” tidak mempedulikan nasib rakyat Timor Leste!
     
Jatuh Bangun Rebut Pengaruh Indonesia

Sesungguhnya Jakarta enggan terlibat terlalu jauh Perang Rusia-Ukraina. Tetapi karena Joko Widodo sudah terlanjur terpilih sebagai Presiden G-20 maka mau tidak mau Jakarta turun tangan. Di sini Jakarta mulai termakan jebakan Barat dengan turut meresolusi Rusia dalam SU Darurat di PBB.

Barat sangat mengapresiasi langkah Indonesia tersebut, dan kian mendorong agar Jakarta sekaligus menjadi “ketua peredaan ketegangan” Rusia-Ukraina.

Ad image

Sungguh, keinginan Barat tersebut sebuah kerikil tajam buat Jakarta, tetapi bidak catur Barat mulai “memainkan kelicikannya”. Tidak tertutup kemungkinan Washington akan membatalkan transaksi 36 ekor F-15 EX yang diakuisisi TNI jika :

Pertama, Jakarta tidak mau tampil di depan dalam upaya perdamaian Perang Rusia dan mendukung Ukraina.

Kedua, Indonesia harus menjual energi pentingnya ke Barat ketika Rusia tidak lagi mengapalkan sumber energinya.

Ketiga, Jakarta harus menggagalkan kerjasama beberapa proyek strategis nasionalnya dengan Rusia dan China kemudian menggelar kembali tender internasional demi keberhasilan Barat. Ada beberapa proyek strategis Indonesia misalnya, KA Super cepat Jakarta-Bandung (China), perkereta-apian Borneo (Borneo International Rail Way) Rusia, dan pembangunan IKN Nusantara, serta beberapa eksploitasi pertambangan besar laiknya batubara, nikel, dan tembaga.

Keempat, Barat kembali mulai memainkan  Arab Spring yakni mengadu domba kelompok ormas keagamaan (muslim) di negara-negara Arab, kemudian mempraktikannya di Indonesia dengan cara mengembuskan isu-isu krusial misalnya tentang Syiah, ideologi komunisme, gerakan dan anti-China di Indonesia. Padahal, komunisme sudah binasa secara konstitusi di Indonesia, dan

Kelima, penerapan “perang dagang” oleh Barat yang disponsori Sekutu, misalnya proteksionisme CPO (minyak sawit) oleh MEE.

Dari kelima indikator tersebut yang harus diwaspadai Indonesia adalah pemaksaan Barat untuk pembelian sumber-sumber energi kita. Sayangnya, panggung politik nasional kita kerap  menumbuhsuburkan praktik oligarki dan ikat primordialisme yang kesemuanya acap pula disebut “demokrasi transaksional”, yang pada gilirannya ini akan melahirkan “sindikasi monopoli baru” pengelolaan sumber energi dan sekaligus sebagai biang petaka bangsa dan negara ke depan!

Emergency Sumber Daya Alam

1. Batu Bara

Indonesia merupakan produsen batu bara terbesar ketiga dunia, setelah China dan India. Pada 2021 produksi batu bara Indonesia tercatat mencapai 614 juta ton, naik dari 2020 sebesar 561 juta ton. Pada 2022, produksi batu bara RI bahkan ditargetkan naik 8% menjadi 663 juta ton.

Sementara Rusia, tercatat sebagai produsen batu bara terbesar keenam di dunia. Berdasarkan data BP Statistical Review 2021, Rusia memproduksi sebesar 399,8 juta ton pada 2020. Adapun kontribusi pasokan batu bara asal Rusia ini sebesar 5,2% dari total produksi batu bara dunia sebesar 7,74 miliar ton.

Akibat perang ini, pasokan batu bara dari Rusia diperkirakan akan terhambat. Imbasnya, beberapa negara, khususnya dari Eropa hingga China mencari alternatif pengganti dari negara lain, salah satunya Indonesia.

Dari catatan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) China belum bisa melakukan impor batu baranya dari Rusia, yang mana Rusia memberikan ekspor batu baranya ke China hingga 17% dari total produksi batu baranya sebanyak 420 juta ton tahun ini.


Selain ke China, Rusia juga mengekspor batu baranya ke beberapa negara di Eropa sebanyak 31% dari total produksi batu baranya.


Akibat dari seretnya pasokan batu bara di sejumlah negara Eropa dan China, batu bara Indonesia sedang diburu.

Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Batu Bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengatakan, di tengah terganjalnya pasokan batu bara Eropa dari Rusia, terdapat calon pembeli dari beberapa negara di Eropa yang sedang menjajaki atau mencari suplai batu bara dari Indonesia.

Mengutip CNBC International, Kamis (10/3/2022), Anthony Nafte dari CLSA mengatakan bahwa harga komoditas telah melonjak sejak Rusia perang dengan Ukraina. Bagi Nafte, naiknya harga komoditas akan menguntungkan bagi Indonesia karena ekonominya di gerakan oleh komoditas.

“Lebih dari 50% ekspor mereka berasal dari komoditas, dan sekarang Anda sudah mendapatkan posisi di mana harga komoditas akan bertahan lebih tinggi lebih lama,” kata Nafte.

Dia mengatakan, misalnya, Rusia saat ini merupakan pemasok batu bara terbesar kedua ke China dan gangguan dapat mendorong Beijing untuk beralih ke Indonesia untuk mengisi kesenjangan.
“Indonesia akan diuntungkan dari efek harga tetapi juga dari segi volume,” kata Nafte.

2. Nikel

Selain batu bara, Indonesia dinilai juga bisa menjadi pengganti pemasok nikel asal Rusia yang tersendat akibat Perang Rusia-Ukraina.

Hal ini dikarenakan pasokan nikel Indonesia pada tahun ini diperkirakan akan bertambah, khususnya untuk jenis logam nikel kelas 1 yang diproduksi Rusia, berupa nickel matte, nikel sulfat, Mixed Hydroxide Precipitate (MHP), maupun Mixed Sulphide Precipitate (MSP) yang kadar logamnya telah mencapai 99,9%. Produk nikel kelas 1 ini biasanya dijadikan bahan baku untuk baterai kendaraan listrik.

Hal tersebut diungkapkan Steven Brown, Konsultan Independen di Industri Pertambangan berbasis di Australia. Steven mengatakan bahwa logam nikel yang diproduksi Rusia merupakan nikel kelas 1 dan pasokan nikel Rusia ini tak bisa digantikan oleh negara lain, kecuali Indonesia.

“Rusia adalah pemasok Class 1 Nickel paling besar di dunia. Negara lain tidak mungkin bisa menutup pasokan ini, kecuali Indonesia,” ungkapnya kepada CNBC Indonesia, dikutip Rabu (09/03/2022).

3. Tembaga

Perang Rusia-Ukraina juga berdampak pada ekspor tembaga Rusia. Rusia merupakan salah satu eksportir tembaga terbesar di dunia. Mengutip situs News Metal, produksi logam tembaga Rusia berkontribusi sebesar 4% dari produksi tembaga dunia. Tembaga produksi Rusia banyak diekspor ke Asia dan Eropa.


Lantas, apakah Indonesia berpotensi meraup peluang pasar tembaga tersebut?
Perlu diketahui, smelter tembaga di Indonesia saat ini hanya terdapat dua smelter, yakni PT Smelting di Gresik, Jawa Timur yang merupakan smelter tembaga terbesar saat ini dan smelter PT Batutua Tembaga Raya di Maluku.

PT Smelting merupakan pabrik pengolahan dan pemurnian konsentrat tembaga berkapasitas pengolahan konsentrat tembaga sebesar 1 juta ton per tahun dan memproduksi sekitar 300 ribu ton katoda tembaga per tahunnya. PT Smelting merupakan perusahaan patungan antara PT Freeport Indonesia dan Mitsubishi Materials Corporation (MMC).


Sementara smelter PT Batutua Tembaga Raya hanya memproduksi sekitar 25.000 ton katoda tembaga per tahun.


Berdasarkan data Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM, produksi katoda tembaga RI pada 2021 sebesar 289,5 ribu ton, naik dari 268,6 ribu ton pada 2020. Pada 2022 ini, produksi katoda tembaga ditargetkan naik menjadi 291 ribu ton.

Herry Santoso, adalah seorang novelis, cerpenis, dan kolomnis di berbagai media massa. Novel terakhir “Senja Jatuh di Ketiak Wilis” (APP 2021), artikel ini didukung dari berbagai sumber.

Share This Article