jfid – Dalam khazanah budaya Jawa ekspresi-ekspresi yang memuji perempuan cukuplah menarik untuk dikaji. Entah kenapa, selain kembang, lazimnya buah-buahan merupakan pilihan popular para pujangganya. Taruhlah metafora “mbawang sabungkul” yang melukiskan keindahan mata yang besar. Atau juga “nyengkir gadhing” untuk melukiskan payudara yang sedang, kencang, dan menjulang. Pun ungkapan untuk melukiskan kerapian gigi dan rambut yang tebal mengembang, “miji timun” dan “ngembang bakung.”
Barangkali, orang berpikir bahwa yang sedang mencanda perempuan itu adalah para petani yang akrab dengan tanaman sayur-sayuran dan buah-buahan. Rasanya, ketika menilik metafora-metafora yang sampai hari ini masih dibawakan oleh para pranatacara pengantin tradisional Jawa itu, orang dapat membayangkan pula bahwa perempuan adalah laiknya semangkok soto ataupun rawon—karena banyaknya sayuran ataupun buah-buahan untuk melukiskannya.
Entah siapakah sebenarnya yang menjadi role model perempuan Jawa di situ, sebab sejak panyandra wayang yang bermula ketika Amangkurat Jawa berkuasa sampai para pranatacara pengantin Jawa tradisional di masa sekarang, lukisan-lukisan tentang perempuan Jawa itu selalu sama. Tengoklah seumpamanya sepasang mata pengantin perempuanya sipit, tetap saja sang pranatacara akan mencandranya sebagai “mbawang sabungkul.” Atau kebetulan pengantin perempuannya berbadan besar dimana payudaranya jelas tak sedang, kencang dan menjulang, namun sang pranatacara tetap saja melukiskannya sebagai “nyengkir gadhing.”
Dengan kata lain, kesusastraan Jawa yang bersifat formal pada dasarnya telah mengalami stagnasi. Padahal, konsep kecantikan terus mengalami pergeseran dan perubahan. Apalagi ketika orang hidup di sebuah zaman dimana kecantikan ternyata hanyalah sebentuk konstruksi yang tak sekedar bersifat estetis, tapi juga bersifat politis (Kosmetik: Antara yang Estetik dan yang Politik, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id/webdev).
Akhirnya, kesusastraan Jawa formal—yang beranjak dari kesusastraan wayang hingga menjadi panyandra upacara pengantin dan upacara-upacara resmi tradisional lainnya—sekedar berfungsi laiknya mantra dimana kata-katanya tak tergantung pada apa yang dirujuk. Tapi, atas stagnasi ini, ternyata kita pun dapat melihat atau memaknainya dari sudut-pandang yang sedikit kekinian: bahasa.
Sejak strukturalisme Sausseurean, orang menjadi tahu bahwa bahasa memang bersifat semena-mena atau tak pernah mendasarkan diri para realitas. Kucing seumpamanya, disebut kucing bukan karena ia mengacu pada seekor hewan manja yang suka mencuri ikan asin. Kucing disebut sebagai kucing karena ia berbeda dengan sesebutan anjing. Karena itu pula makna kucing itu pun tak dapat dimaknai secara tunggal. Dalam pemakaiannya, sesebutan kucing tak semata mengacu pada seekor binatang yang manja, tapi juga alat kelamin perempuan atau bahkan juga pelacur yang dalam ekspressi bahasa Inggris disebut pula dengan istilah “pussy.”
Poststrukturalisme Derrida juga percaya bahwa tak mungkin makna bahasa atau sebuah kata mengacu pada realitas. Analogi dedengkot dekonstruksi itu adalah sebuah kamus. Kata-kata, pada dasarnya, selalu merujuk pada kata-kata lainnya. Taruhlah ketika kita mencari makna dari kata “jin” di kamus Arab, kata “jin” ini akan selalu merujuk pada kata-kata lainnya semisal “janna,” “jinna”, “jinnayyah”, “ijtinan”, “syaithan” atau bahkan “’ifrit.”
Ketika pun orang mengartikan kata “jin” sebagai, seumpamanya, “yang tersembunyi,” pada dasarnya ia sedang mengartikan kata “ijtinan” atau “istitar” yang lebih berfungsi menjelaskan sebentuk kriteria dan bukannya definisi. Inilah yang dimaksud Derrida dengan kata-katanya yang paling popular: “Nothing outside of the text.”
Dengan demikian, tak ada salahnya pula ketika para pranatacara pengantin tradisional Jawa, atau bahkan dalang sekali pun, tak sekedar mengulang-ulang panyandra “nyengkir gadhing.” Sah-sah pula, untuk menghindari efek kebosanan, menggunakan panyandra alternative semacam “bluluk tumiba.”