Paman Dhoplang dan Ketelanjangannya Menjelang Pilkada

Heru Harjo Hutomo By Heru Harjo Hutomo
4 Min Read
- Advertisement -

jfid – Di hari-hari seperti ini, dimana pemilu semakin dekat, Paman Dhoplang tampak laiknya seorang bayi yang seturut dengan kemauan orangtuanya. Pernah ia menjadi salah tingkah hanya karena memakai kaos merah atau biru yang tiba-tiba diasosiasikan dan bahkan diklaim sebagai simpatisan partai tertentu yang mengusung kandidat tertentu pula. Sampai-sampai ia pun mesti bertelanjang dada, tanpa memakai kaos berwarna.

Paman Dhoplang hidup di sebuah zaman dimana hampir semua halnya ditentukan oleh citra, yang oleh Guy Debord disebut sebagai zaman “masyarakat tontonan.” Relasi-relasi sosial cenderung didasarkan pada citra daripada ikatan kekerabatan (kinship), karisma dalam terang Weber daripada jejaring dan finansial, orang-orang terdekat daripada orang-orang yang jauh, idealisme daripada pragmatisme, adab daripada semangat revolusioner, dan penghayatan keagamaan daripada formalisme keagamaan.

Karena hal itulah Paman Dhoplang mengekspresikan resistensinya dengan jalan bertelanjang dada. Tak ke sawah, warung, pasar ataupun menghadiri hajatan perkawinan, ia senantiasa bertelanjang dada. Sampai-sampai orang-orang di desanya ngungun dengan keseharian Paman Dhoplang yang nyalawadi. Tapi rupanya Paman Dhoplang memiliki penjelasan tersendiri atas apa yang ia lakukan.

“Ini hajatan perkawinan atau pengarahan politis untuk memilih dan mengistimewakan si mempelai perempuan daripada lelakinya?,” kilah Paman Dhoplang yang kupingnya sama sekali tak budhek ketika sang M.C. terasa menyudutkan si mempelai pria—atau secara simbolik berupaya menafikannya.

Ad image

Kebetulan salah satu kandidat bupati di daerahnya adalah seorang perempuan yang bukan merupakan warga asli daerah tersebut. Paman Dhoplang, barangkali, hanyalah bagian dari segelintir orang yang peka terhadap upaya pemusnahan simbolik autochthony daerahnya. Ia seperti sedang hidup di sebuah daerah yang sama sekali asing, bukan bagian dari hidup kesehariannya. “Kenapa sekarang hanya karena menunjukkan alamat pada seorang yang bertanya justru tak disukai dan dibilang utun?,” protesnya pada kawan-kawan sebayanya.

Paman Dhoplang sebenarnya bukanlah seorang yang sama sekali baru dalam hal menghidupi zaman yang kini lazim dikenal sebagai zaman pasca-kebenaran. Pada tahun ’65, masih mengendap dalam ingatannya tentang zaman “lip-lipan” atau “klambrangan” dimana membunuh karakter seseorang untuk mengenyahkannya sudah menjadi santapan sehari-hari.

Ada banyak orang sebayanya dahulu yang tiba-tiba mati kariernya, menjadi musuh publik, rusak ikatan kekeluargaannya, dan bahkan mati tanpa diketahui jasad dan kuburannya hanya karena di-klambrang-kan sebagai seorang komunis. Efek atas klambrangan ’65 itu pun seperti halnya stigma yang melekat di era pasca-kebenaran sekarang. Status “tak bersih lingkungan,” yang menjadikan seseorang serasa penuh diskriminasi kehidupannya, sepadan dengan status “kafir” di era sekarang yang sama-sama menciptakan perlakuan khusus pada seseorang di lingkungannya. Pada titik inilah, bagi Paman Dhoplang, sanksi sosial serasa lebih menyakitkan (yang berimbas pada anak keturunannya) daripada sanksi hukum.

Paman Dhoplang, dalam hal ini, sama sekali tak memihak pada kubu-kubu yang berseteru. Baginya, yang berbaju keagamaan pun, ketika sudah dibungkus dengan kepentingan politik, sama saja dengan yang putih atau tak bertudung keagamaan: sama-sama mengoyak keberagaman dan martabat diri yang akan berefek panjang. Ketika seandainya ada yang jadi pun para kandidat pemimpin itu, karena tak adanya ketegasan dari pihak berwenang, akan serasa “masturbasif” kepemimpinannya karena proses perjuangannya dilakukan dengan cara yang cukup memakan banyak korban. Memang benar, di zaman masyarakat tontonan ini semuanya hanyalah serasa tontonan, tapi meskipun tontonan luka, air mata, dan regangan nyawa bukanlah isapan jempol belaka.

(Heru Harjo Hutomo: penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik)  

- Advertisement -
Share This Article