Hiperglobalitas

Tjahjono Widarmanto By Tjahjono Widarmanto
12 Min Read

jfid – Istilah hiperglobalitas bermula dari pemahaman globalisasi, namun lebih menitikberatkan pada ekses dari globalisasi. Kata depan “hiper” yang berarti “berlebihan” atau “terlalu”. Sehingga secara sederhana istilah hiperglobalitas bermakna terlalu global atau globalisasi yang berlebihan. Tentu saja makna tersebut tidak memadai untuk memaknai hiperglobalitas, diperlukan pemahaman yang berkaitan dengan konteks fenomena sosial dan konteks sejarah pemikiran yang berkaitan dengan gejala globalisasi yang mau takmau memiliki mata rantai dengan modernism dan postmodrnisme.

Istilah hiperglobalitas menyiratkan pengertian terjadinya radikalisasi globalitas yang dengan revolusioner mengubah hubungan dan tatanan sosial, ekonomi, kultur, tekno, nilai, moral, perilaku, dan politik kekuasan. Perubahan yang revolusioner dan radikal tersebut secara langsung maupun tak langsung mempengaruhi psikologi kolektif bawah sadar pada individu maupun masyarakat dalam merespons perubahan, yang pada gilirannya akan mengubah sikap mentalitas dan perilaku individu maupun masyarakat.

Globalisasi merupakan mata rantai bahkan anak kandung dari keseluruhan perubahan kebudayaan dan peradaban manusia yang dipicu oleh modernisme, kemudian beranjak pada postmodernisme, lalu bergulir menuju globalisasi dan beranjak pada hiperglobalitas.

Modernisme merupakan awalnya yang ditandai dengan kegandrungan pada nalar, ilmu pengetahuan yang otonom yang mengambil jarak dengan agama, politik dan moral. Periode awal modernisme ini dikenal sebagai era “renaissance” yang dikenal dengan adigiumnya “cogito ergo sum” yang jelas-jelas menegaskan kemandirian berpikir dan bernalar. Bahkan Imanuel Kant menekankan kemandirian bernalar tersebut sebagai pelepasan dari semua bentuk pertimbangan dari luar diri manusia, sehingga bagi Kant, manusia yang modern adalah individu-individu yang sanggup membebaskan dirinya dari semua bentuk dominasi yang mendikte manusia.

Ad image

Masyarakat modern memiliki keyakinan besar terhadap gerak kemajuan yang membawa situasi kebahagiaan manusia lebih baik. Gerak kemajuan ini hanya bisa terwujud melalui ilmu pengetahuan, rasionalitas dan teknologi. Namun, sejarah peradaban mencatat bahwa rasionalitas, ilmu pengetahuan dan teknologi tak hanya memudahkan manusia, namun juga memicu lahirnya liberalisme yang ternyata justru mengancam kebahagiaan manusia.

Kebahagiaan yang dijanjikan oleh rasionalitas, pengetahuan dan teknologi justru membawa kegelisahan baru yaitu kehilangan makna kemanusiaan. Meski dalam sisi materi, modernisasi telah menjadikan kebutuhan konsumsi manusia semakin gampang terpenuhi, namun kesenjangan sosial dan ekonomi makin menganga melebar dan muncullah komersialisasi gaya hidup yang mengeksploitasi rasio. Perilaku yang muncul adalah mulai munculnya pemujaan terhadap hasrat materialistik yang mendorong sikap individualis, hedonis, pengingkaran tradisi dan pemujaan terhadap gaya hidup.

Semua kecenderungan di atas menjadikan masyarakat modern mulai ditundukkan dan diatur oleh kuasa uang dan pasar. Muncullah syahwat besar untuk memburu kepuasan dan kenikmatan. Kesemuanya itu menumbuhkan fenomena yang sama yaitu hidup diarahkan untuk uang. Kebahagiaan menjadi identik dengan penguasaan atas uang dan ekonomi. Modernitas ternyata mengkhianati janjinya untuk mengantarkan manusia menuju kebahagiaan. Modernitas bahkan memunculkan krisis berbagai nilai. Manusia modern justru menjadi manusia yang asing bagi dirinya sendiri sekaligus abai dan diabaikan oleh masyarakatnya sendiri.

Ketika modernitas mulai takbisa dikendalikan maka muncullah postmodernisme sebagai antitesisnya. Postmordenitas mempertanyakan bahkan memutuskan hubungan dengan modernitas. Postmordenitas menolak bahkan mempertanyakan dan menertawakan ideologi kemajuan yang ditawarkan modernitas.

Postmordenitas tak mempercayai “produk-produk” modernitas termasuk ideologi-ideologi modern yang dilahirkan rasionalisme. Postmordenitas menjatuhkan talak tiga dengan ideologi-ideologi besar. Bahkan postmordenitas membongkar dan menelanjangi konspirasi dan perselingkuhan pengetahuan dan kekuasaan, mempertanyakan klaim objektivitas ilmiah yang ternyata menjadi ruang akan hasrat kekuasaan, sekaligus mencurigai wacana-wacana pengetahuan yang mengklaim bebas nilai atau tanpa kepentingan. Pendek kata postmordenitas memunculkan wacana-wacana kritis terhadap semua produk pemikiran modernitas.

Sebagai reaksi atau budaya tanding dari modernitas, postmodernisme menawarkan kontradiksi. Ketika modernitas memunculkan individualitas, keseragaman, kepatuhan pada nalar, pemujaan pada hasrat kuasa, maka postmodernitas menawarkan toleransi, pluralitas, kebebasan, dan perdamaian (Hottois dalam Haryatmoko, 2009).

Sungguh pun demikian, postmodernism memiliki kekurangan yaitu kurang memperhitungkan perubahan besar dalam masyarakat kontemporer. Postmodernism hanya menitikberatkan pada keterputusan dari modernitas. Itu pun juga tidak mampu secara mutlak memotong jalannya sejarah modernitas.

Akar modernitas ternyata telah berurat dan berakar melalui jaring-jaring kekuasaan uang dan pasar sehingga mustahil dipenggal oleh postmodernitas. Bahkan muncullah gejala baru yaitu hipermodernitas.

Dalam fenomena hipermodernitas semakin menguat gejala bagaimana manusia dan masyarakatnya melulu diatur dan tunduk pada kuasa uang. Kuasa uang menjadikan budaya hedonis tumbuh subur sehingga orientasi hidup adalah “hidup enak”.

Hipermodernitas mutlak menjadikan manusia hanya “homo economicus” yang berorientasi pada kepentingan diri sendiri dalam berbagai aspek kehidupan, seperti ekonomi, pendidikan, kesehatan, politik, bahkan seks. Orientasi pada kepentingan diri sendiri menjadikan manusia hipermodernitas makin mengabaikan norma-norma sosial dan nilai-nilai lama yang ada dalam masyarakat. Ambyarnya norma dan nilai-nilai mengakibatkan pathologi sosial seperti depresi, stres, alienasi, pelarian pada narkoba, penyimpangan sosial, penyimpangan seksual dan keinginan bunuh diri.

Saat manusia belum selesai dengan hipermodernitas, muncullah gelombang globalisasi yang melanda kehidupan manusia. Lipovetsky (2004) menunjukkan bahwa globalisasi ditandai dengan revolusi teknologi informasi yang memungkinkan terjadi pemampatan waktu, ruang dan jarak. Revolusi teknologi informasi menciptakan proses global yang memungkinkan informasi dan pertukarannya dalam waktu yang singkat bahkan bersamaan. Ruang manusia tak lagi bisa dibatasi dalam sekat-sekat geografis sehingga mengakibatkan identitas-identitas mencair, baik identitas lokal, nasional (bangsa) dan internasional. Di bidang ekonomi terjadi perputaran modal dan transaksi ekonomi yang cepat bahkan tak terkendali. Muncullah pasar bebas.

Fenomena globalisasi seperti fenomena modernistas, postmordenitas, dan hipermodernitas juga memunculkan sikap dan perilaku manusia. Muncullah perilaku yang memuja kecepatan, instan, profesionalitas, persaingan, target, hilangnya kontemplasi, pudarnya spiritual, penjungkirbalikan nilai, ekonomi sebagai panglima, melemahnya komonitas, menguatnya kepentingan pribadi, ketidakpedulian, dan pemujaan pemenuhan-pemenuhan hasrat badani.

Saat globalisasi tak terkendali maka muncullah hiperglobalitas. Seperti ibu kandungnya: globalisasi, globalitas pun merupakan pisau bermata dua. Pada satu sisinya, merupakan gerakan kebudayaan yang tak terelakkan dengan berbagai kemanfaatan dan di sisi yang lain melahirkan berbagai ekses yang mengusung kemudhoratan.

Karena merupakan anak kandung dari globalisasi, maka hiperglobalitas memiliki kemiripan ciri. Hiperglobalitas memiliki ciri-ciri yaitu ditandai dengan percepatan komunikasi yang tak terbendung yang diikuti dengan tsunami informasi, mencairnya berbagai identitas, menuntut adanya percepatan, pergerakan ekonomi yang nyaris tak terkendali, pemujaan terhadap kepentingan ekonomi, munculnya profesi secara tak terduga, hedonisme yang tak terkendali, serta mencairnya strata sosial.


Hiperglobalitas juga memicu munculnya berbagai perilaku, baik perilaku individu maupun perilaku sosial. Perilaku-perilaku itu di antaranya adalah ketergatungan dan pemujaan terhadap teknologi informasi. Gadget, internet menjadi bagian vital bahkan menjadi kebutuhan primer. Ketergantungan gadget dan internet tak hanya menjadi gaya hidup tapi telah menjadi sebuah sarana yang mutlak harus dimiliki individu dan masyarakat. Separo aktivitas kehidupan di berbagai sektor bertumpu pada gadget dan internet.

Perilaku lainnya adalah munculnya budaya instan yang sesaat dan cepat. Proses tidak lagi menjadi kearifan manusia namun hasil menjadi fokus utama yang bisa saja mengabaikan proses. Akibatnya, penghalalan segala cara menjadi semboyan dalam hiperglobalitas. Budaya yang sesaat dan cepat itu menjadikan manusia hiperglobal tidak lagi memiliki kesempatan untuk merenung sehingga mewujud menjadi mahluk yang terburu-buru. Manusia hiperglobal tak lagi mempunyai kesempatan untuk mengambil jarak atas apa yang dilakukannya. Tak memiliki kesempatan untuk bertanya, tak memiliki kesempatan “mulat sarira hangrasa wani”, tidak lagi bisa mencoba kritis terhadap apa yang telah dilakukannya. Manusia hiperglobal selalu berada dalam situasi instan yang terus-menerus sehingga mustahil untuk memberi makna pada tindakan yang telah dilakukannya.

Manusia hiperglobal pun menunjukkan perilaku yang kontradiktif dalam berbagai aspek kehidupannya. Realitas yang tampak jelas adanya fenomena manusia hiperglobal yang memburu eksistensi dalam kerumunan dunia maya. Manusia-manusia hiperglobal membutuhkan pengakuan-pengakuan atas eksistensi dalam dunia maya. Mereka membutuhkan ‘kerumunan-kerumunan’ sekaligus pengakuan-pengakuan sosial melalui media sosial-media sosial virtual dengan memburu “like”,”follower”, mengunggah setiap aktivitasnya, bahkan yang paling sepele pun, untuk mendapatkan pengakuan.

Ironisnya, dalam kehidupan nyata justru ia asing dengan kehidupan sosial. Gambaran yang jelas bisa kita amati bagaimana para manusia hiperglobal itu berada dalam ruang sosial, warung misalnya, mereka duduk berkerumun namun asyik masyuk dengan gadgetnya tak peduli dengan manusia-manusia lain di sekelilingnya. Manusia hiperglobal ramai dalam dunia maya, namun kesepian dalam dunia nyata.

Kontradiksi lainnya, manusia dan masyarakat hiperglobal begitu mudahnya mendapatkan sekaligus memproduksi dan menyebarkan informasi, namun di waktu yang bersamaan ia gagal mengendalikan informasi. Akibatnya, mereka tak sanggup membedakan antara yang pokok dan yang sekedar tempelan, antara yang urgen dan yang remeh remeh, mana yang valid dan mana yang hoaks.

Pencitraan menjadi kebutuhan jiwamu para manusia hiperglobal. Mereka berbondong-bondong menciptakan citraan atas diri mereka melalui medsos. Manusia hiperglobal menjadi dwimuka (bahkan bisa saja dasamuka) yang berbeda bahkan bertolak belakang antara kehidupan nyata dan kehidupan di dunia maya. Di dunia maya, ia bisa tampil sebagai sosok manusia yang sempurna, namun di dunia dunia nyata boleh jadi ia adlah manusia yang rapuh. Hasilnya, manusia-manusia hiperglobal adalah manusia-manusia terbelah yang selalu bertopeng.

Pribadi-pribadi hiperglobal adalah pribadi yang sangat individualis. Globalisasi ekonomi yang tak terkendali memunculkan dominasi yang didasarkan pada uang dan pasar yang pada akhirnya hanya menjadi alat ambisi neoliberalisme.

Lalu bagaimanakah kita bisa meloloskan diri dari jebakan hiperglobalitas? Bisakah kita mengasingkan diri dari hiperglobalitas sedang dalam realitanya hiperglobalitas adalah sebuah keniscayaan yang tak terhindarkan?

Jawabannya adalah kita harus kembali kepada kesadaran bahwa manusia memiliki seperangkat nilai, moralitas, spiritualitas,dan etika yang membatasi dirinya untuk tidak tergelincir dari harkat manusianya. Nilai-nilai, moralitas, spiritualitas, dan etika itulah yang harus kembali dihidupkan dan dijalankan. Nilai-nilai, moralitas, spiritualitas, dan etika sebenarnya sudah merupakan warisan yang menjadi kearifan budaya sehingga perlu dilakukan reaktualisasi dan revitalisasi atas warisan kearifan-kearifan tersebut. Reaktualisasi dan revitalisasi kearifan-kearifan tersebut akan menjadi jalan keselamatan dalam mengarungi gelombang hiperglobalitas.***

*) Penulis adalah sastrawan dan guru yang tinggal di Ngawi.

Share This Article