Durung pecus
Kasusu kaselak besus
Amaknani rapal
Kaya sayid weton Mesir
Pendhak-pendhak angendhak gunaning janma
—Serat Wedhatama
jfid – Adakalanya ketika mendapatkan hal yang baru orang begitu sok, rasanya seperti orang yang telah lama menghidupi hal yang baru tersebut. Celakanya, ia pun akan melihat orang yang sebenarnya telah lama menghidupi hal yang baginya baru tersebut seperti orang yang salah atau bahkan sama sekali awam yang mesti ia wejang.
Pada titik ini kita bicara tentang “ghirah” yang acapkali diderita oleh jiwa-jiwa amatiran. Mangkunegara IV, dalam Serat Wedhatama, cukup apik mencandra para jiwa amatiran, dengan ghirah yang begitu menggebu tapi tanpa dibarengi dengan ilmu, yang gampang dilihat dari kesigapannya dalam memvonis atau memberikan judgment yang akhirnya, alih-alih melahirkan kebaikan, justru menimbulkan kerusakan yang bahkan untuk memperbaikinya sekali pun perlu untuk mengenyahkan orang yang bersangkutan.
Al-Hikam pernah mewedarkan bahwa seorang salik, ketika mengawali suluk-nya, mestilah “nyantai.” Sebab, dinamika nafsu manusia sangatlah lembut dan samar. Nafsu yang berlebihan pada kebaikan dan kesucian pun bisa jadi adalah justru sebuah hijab yang membuat berjarak seorang insan dengan Tuhannya, karena meskipun sebuah kebaikan, hal ini didorong oleh nafsu yang sudah pasti akan menipunya.
Di sinilah saya kira sufisme nusantara cukup jeli membahasakan dinamika kejiwaan manusia. Ketika orang berbahasa Arab menyebut “penyakit” jiwa-jiwa amatiran tersebut dengan “ghirah,” maka orang nusantara cukup menamakannya dengan langsung menunjukkan konsekuensinya: “goroh” (bohong).
Taruhlah perihal istilah dan konsep “sedulur 4” dalam kebudayaan Jawa yang membuat para jiwa amatiran yang “masturbasif” (mau menang sendiri) dan siap wirang, menghakiminya sebagai bid’ah, tak islami atau sekedar warisan masa silam yang kuno dan tak laik diapresiasi dan diakomodasi, tampak sekali bahwa para tukang goroh ini tak pernah menyelami al-Qur’an alias pengung sebagaimana Serat Wedhatama menyebutnya (Radikalisme, Konsep dan Transformasi Diri dalam Tasawuf, Heru HarjoHutomo, https://jurnalfaktual.id/webdev).
Belum lagi soal keris atau berbagai pusaka yang memiliki nilai estetis dan historis yang bagi jiwa-jiwa amatiran tersebut dihakimi sebagai penyakit TBC (takhayul, bid’ah, dan churafat). Barangkali, mereka memang tak karib dengan nabi Muhammad yang pernah mewariskan pedang pusaka pada Ali: Zulfikar. Siapakah pada akhirnya jiwa-jiwa amatiran yang suka membikin umuk, umek atau gaduh tersebut?
Berbagai data yang ada menunjukkan bahwa kebanyakan pelaku yang menunjukkan kecenderungan radikalisme dan terorisme adalah orang-orang yang berusia di bawah 30 tahun. Pendek kata, kebanyakan mereka adalah orang-orang yang baru saja belajar tapi seolah sudah berhak menghajar, orang yang masih dalam taraf mencium baunya saja sudah berani nggaya.
Dalam konteks ghirah dan goroh ini pada dasarnya tak mengenal batasan usia ketubuhan—meskipun hal ini dapat digunakan untuk memetakan para orang yang terjangkit radikalisme dan terorisme. Karena itulah kenapa saya memilih penggunaan istilah “jiwa-jiwa amatiran” yang “masturbasif” dan siap wirang daripada istilah-istilah lainnya. Beberapa kali pernah saya petakan tentang struktur jejaring radikalisme dan terorisme di Indonesia: jejaring pengung adalah buah cinta terlarang antara jejaring “masturbasif” dan “wis wani wirang” (Yang Tertyolak: Menguak Strktur Jaringan Radikalisme dan Terorisme Kontemporer di Indonesia, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org). Dengan demikian, populisme yang selama ini dicirikan oleh kematian para ahli adalah sebuah cerita agung (grand narrative) yang dibangun di atas ghirah dan goroh.
(Heru Harjo Hutomo: penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik)