jfid – DUNIA perkeliran kita sedang berduka. Ki Seno Nugroho, dalang kondang dengan style “kontemporer” wafat, Rabu, 4 November 2020, di kediamannya Dusun Gayam, Argosari, Bantul, Provinsi DIY. Para penggemar wayang kulit khususnya, benar-benar merasa kehilangan dalang yang boming berkonten banyolan segar (fresh jokes) di setiap pergelarannya itu. Sungguh, dalang yang melakukan revolusi dengan kisi-kisi rekaan yang mampu menggelitik pandhemen wayang kulit (tickle the audience) tanpa merusak pakem perkeliran semestinya. Ini suatu tengara bahwa dunia perkeliran kita telah mengalami pengayaan sanggit (gaya) kekinian yang pada gilirannya kaum milenial pun menyukai dan tidak lagi alergi terhadap wayang. Wayang dari tontonan ndeso dan marginal belakangan mampu menjadi “elite show” yang inklusif, berkelas dan “go public” bukan saja di kultur Jawa sekaligus di stage khazanah budaya nasional.
Dalang Nakal
Memang, sebelum era Ki Seno Nugroho sudah ada “dalang nakal” lain seperti Warseno Sleng, Ki Enthus Suswono (Bupati Tegal), atau dalang kontemporer lokal laiknya Ki Sun Gondrong (Tulungagung), atau Ki Rudi Gareng (Blitar), Ki Dwija Kangko (Solo), Ki Sunaryo (Surabaya), dan masih banyak lagi lainnya, namun yang berani jokes branded sejauh ini masih Ki Enthus Susmono, dan Ki Seno Nugroho yang totalitas rela “ngedan”. Ki Enthus meletakkan ikon pada “pisuh” (dialog rusuh/misuh), sedangkan Ki Seno Nugroho menjadikan wayang Bagong sebagai tokoh ikonis serba kontroversi : arogan, lucu, ngeyelan, dan jawara (menangan). Konten-konten itulah yang menjadikan dunia perkeliran kita kembali semarak dan bangkit digandrungi kaum milenial.
Predikat wayang dan dalang kontemporer sebenarnya terletak pada tiga penekanan yaitu lakon, musik, dan lawak, artinya selain perlakonan pakem, acap mengusung style carangan (bikinan sang dalang), sekaligus selingan istimewa yakni musik, dan lawak. Dua yang disebut terakhir (musik dan lawak) domain dalam pergelaran wayang kulit kontemporer semalam suntuk, hingga porsi ceritanya hanya minim sekali sekitar 2 jam (dari durasi semestinya 8 jam semalam) hingga tancep kayon sebagai tanda usai pertunjukan sekitar pukul 4.00 pagi. Semua lantaran tersita acara musik (campursari), dan lawakan yang mendapat porsi berjam-jam. Bagian ini merupakan season yang ditunggu-tunggu dan digandrungi kaum muda karena full improvisasi perkeliran. Setelah acara itu usai penontonnya habis hanya bisa dihitung dengan jari dan itupun (biasanya) dari generasi tua yang memang paham lakon dan silsilah pewayangan.
Mahal
Sudah menjadi rahasia umum bahwa tarif “nanggap wayang” masih tergolong mahal tergantung popularitas fan kelas dalangnya, atau juga bintang tamunya (pelawak) yang akan menghibur penonton. Untuk dalang kondang sekelas Ki Manteb Sudarsono, dan Ki Anom Suroto kabarnya bertarif sekitar Rp 125 juta – Rp 150 juta. Di bawahnya ditempati Ki Seno Nugroho, Ki Dwija Kangko, Ki Baju Aji sekali pentas pasang tarif Rp 80 juta – Rp 100 juta. Untuk dalang lokal berkisar Rp 20 juta – Rp 35 juta sekali pentas. Untuk itu sungguhpun wayang kulit telah mengalami revolusi habis-habisan tetap saja mengusung image elitisme dan eksklusivitas. Jangankan masyarakat awam, untuk lembaga atau instansi pun kadang enggan nanggap wayang. Besarnya biaya perkeliran tersebut bukan tanpa alasan. Pertama, ongkos pengangkutan dan penataan properti wayang dan gamelan, sangat ribet karena melibatkan banyak pekerja. Kedua, untuk membayar wiyaga (penabuh gamelan) yang jumlahnya bisa mencapai 15 orang dengan upah sekitar Rp 200 ribu – Rp 500 ribu/orang, sekaligus upah sinden antara Rp 150 ribu – Rp 5 juta/orang. Apalagi juga mengundang sinden top sekelas Nyi Sukesi, Nyi Tatin, karena selain pesinden banyak di antaranya berprofesi sebagai dosen. Ketiga, bintang tamu pelawak, ataupun penyanyi terkemuka laiknya Soimah. Untuk pelawak sekelas Kirun, Marwoto saja konon mematok upah sampai Rp 3 juta – Rp 5 juta/orang. Jika pelawak tersebut dalam bentuk grup laiknya Guyon Maton-nya Percil, Cs bisa mencapai Rp 8 juta – Rp 15 juta, dan keempat, upah dalang sebagai mana disebut di atas cukup tinggi. Tetapi biasanya semua segmen itu sudah jadi satu paket (all in).
Lewat Sekolah
Pengenalan dan pelestarian wayang yang paling ideal adalah lewat pendidikan formal (sekolah). Sayangnya dalam kurikulum pendidikan (umum) kita informasi tersebut hanya sampai di tingkat SD dan SMP saja diberikan. Kecuali di jalur pendidikan kejuruan khusus, pengenalan wayang bisa detail.
Dari sinilah wayang kulit seolah tetap kerdil dan quo vadist karena terbelit eksklusivitas. Wayang kulit bukan saja sulit melakukan regenerasi di sisi pedalangan sekaligus untuk menembus konsumen (khalayak penonton) bukan karena terindoktrinasi oleh rumit dan ribetnya pakem yang dogmatis sekaligus karena mahalnya biasa-biaya nanggap wayang. Padahal wayang versi Indonesia jauh lebih “go internasional” dibanding di India sebagai tempat kelahirannya. Bahkan di Leaden University (Belanda), Sydney National University (Australia), Oxford University (Inggris) dan banyak lagi seni wayang dan gamelan Indonesia menjadi kurikulum ekstra. Sayangnya di Indonesia (Jawa) sendiri wayang kulit belum jadi tontonan wajib yang murah dibanding pentas dangdut, atau sinematografi (film). Apalagi wayang kulit sebagai bagian dari industri pariwisata kita masih jauh panggang daripada api dan tetap jadi pabrik impian. Sampai kini. ***
Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan budaya tinggal di Blitar, Jawa Timur.