jfID – Di awal pemerintahannya, presiden Joko Widodo menggulirkan program besar yang dinamakan revolusi mental. Revolusi mental dirumuskan secara konseptual melalui nawacita. Nawacita berasal dari khazanah bahasa Jawa Kuno yang bermakna sembilan harapan. Jadi Nawacita merupakan sembilan jalan untuk menuju Indonesia yang lebih baik.
Nawacita yang dijadikan pedoman presiden Jokowi ini bersumber dari ajaran atau cita-cita Soekarno yaitu Tri Sakti. Dengan kata lain nawacita merupakan sembilan jalan untuk mencapai Tri Sakti yaitu berdaulat secara politis, berdikari secara ekonomi dan berkepribadian secara sosial budaya. Dari sembilan harapan nawacita tersebut terdapat jalan kesembilan yaitu memperteguh kebhinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia melalui kebijakan memperkuat kebhinekaan dan menciptakan ruang-ruang dialog antar warga.
Lalu bagaimanakah cara memperteguh kebhinekaan? Bagaimana pula caranya memperkuat pendidikan kebhinekaan?
Menurut saya cara memperteguh kebhinekaan dan cara memperkuat pendidikan kebhinekaan bisa diperoleh melalaui daulat bahasa. Daulat bahasa berarti memperlakukan dan mendudukkan bahasa Indonesia yang otonom sehingga bisa menjadi sarana menghayati kebhinekaan yang pada gilirannya nanti akan membentuk masyarakat Indonesia yang berkepribadian secara sosial budaya. Daulat bahasa berarti mengembalikan kekuasaan bahasa Indonesia sebagai kekuatan bangsa yang otonom.
Daulat bahasa ini penting dikemukakan karena kita tidak lagi bisa berharap pada aspek-aspek lain. Aspek ekonomi misalnya, bisa dilihat bahwa kemampuan ekonomi kita tidak lagi memiliki kedaulatan. Tidak saja kita belum mampu bersaing secara ekonomi dengan negara lain, bahkan untuk kebutuhan sendiri kita gagal. Contoh yang jelas bagaimana mungkin kita mengimpor beras dari negara lain, padahal Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang besar. Ilmu pengetahuan kita juga tidak lagi memiliki kedaulatan. Dalam dunia intelektual dan perguruan tinggi, karya-karya cemerlang dari tulisan ilmiah para itelektual kita tidak diakui kalau tidak dimuat dalam scopus-scopus jurnal internasional. Akibatnya, justru yang memanfaatkan karya-karya terbaik tersebut justru negara lain.
Bahasa menunjukkan bangsa. Peribahasa ini menegaskan bahwa bahasa mempertegas jatidiri bangsa. Melalui bahasalah sebuah bangsa dikenal dan diperhitungkan oleh bangsa-bangsa yang lain. Secara historis telah dibuktikan bahwa kehadiran bangsa Indonesia tidak lepas dari campur tangan bahasa. Marilah kita menengok kebesaran Majapahit. Kedaulatan dan kejayaan Majapahit tidak bisa dilepaskan dari kekuatan bahasa. Melalui Sumpah Palapa, yang dirumuskan dengan sangat puitis dalam kitab Pararaton” ...sira Gajah Mada amangkhubumi tan ayun amuktia palapa sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah Nusantara isun amuktia palapa lamu kalah ri gurun, ri seram, tanjungpura, ring haru, ring pahang, dompo, ring bali, sunda, palembang, tumasik samana isun amukti pala..”. Sihir dan kedahsyatan bahasa dalam Sumpah Palapa inilah yang menjadi dorongan terbesar Gajah Mada mempersatukan nusantara di bawah kekuasaan Majapahit. Demikian juga saat Pancasila dipilih sebagai dasar negara, istilah lima sila ini dipungut dari kedahsyatan bahasa yang terdapat dalam kitab Sutasoma karya besar Mpu Prapanca yang didalamnya terdapat ungkapan puitis bahasa; bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.
Demikian juga saat para peletak dasar nasionalisme Indonesia membayangkan dan mencitrakan bangsanya dalam imajinasi mereka, seperti dikatakan Benedict Enderson sebagai imagined community, maka mereka mencitrakannya dengan bahasa, melalaui sastra, melalui puisi. Kedaulatan bahasa mampu memberikan gambaran dan keleluasaan metofora untuk mencitrakan Indonesia yang diangankan. Bacalah puisi-puisi Moh. Yamin, Rustam Effendi, Sanusi Pane, bahkan Soekarno.
Komitmen kebangsaan Bangsa Indonesia pun pada peristiwa Sumpah Pemuda jelas-jelas menunjukkan bahwa kekuatan bahasa dan kedaulatan bahasa diyakini mampu menjadi perekat bangsa yang pada gilirannya akan membawa kedaulatan bangsa. Melalui Sumpah Pemuda yang diikrarkan melalui media bahasa: Kami Poetra-Poetri Indonesia mengakoe bertoempah darah sotoe tanah air Indonesia, mengakoe berbangsa satoe bangsa Indonesia, dan menjoenjoeng tinggi bahasa persatoean; bahasa Indonesia. Siapakah yang bisa membantah bahwa dalam sumpah pemuda itu diikrarkan dalam bentuk bahasa, daulat bahasa, yang kemudian membawa ke daulat bangsa.
Sebuah bangsa yang ingin terus berdaulat dan eksus sesungguhnya tak sekedar entitas mitis politis yang hanya membutuhkan konsesus politis, namun juga harus memiliki bangunan politik kultural yang harus ditegakkan bersama-sama. Untuk itu dibutuhkan tak hanya konsesus politik namun peneguhan kesamaan cita-cita yang bisa dibentuk melalui peran bahasa.
Bahasa Indonesia harus berdaulat yang itu berarti harus berperan mutlak untuk menjadi perekat kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahasa Indonesia harus memiliki daulat tidak hanya sebagai produk budaya melainkan juga berperan sebagai politikultural karena di dalamnya terkandung unsur sosial politikultural seperti kearifan lokal, sikap, pandangan hidup, nilai dan berbagai endapan pengalaman sosio politik yang dapat menjadi istrumen pembangun komunikasi antarbudaya.
Kebhinekaan bangsa Indonesia bisa diperteguh melalui daulat bahasa. Melalui bahasa dan anak kandungnya, yaitu kesusastraan, dapat dikenalkan dan dipahamkan kebhinekaan sebagai fakta budaya. Bahasa yang memliki daulat akan mampu berpartisipasi membentuk politik kultural yang mengukuhkan kebhinekaan. Bahasa Indonesia sebagai pemantul, instrumen atau ekspresi kebhinekaan harus diberi posisi yang luas dengan menghindarkan bahasa dari kepanjangan tangan kepentingan-kepentingan dangkal yang bisa menggerus kesadaran kebhinekaan. Melalu bahasalah kebhinekaan selruh etnik, agama, ras dan golongan dapat berkomunikasi dan berinteraksi. Bahasa memiliki peran amat strategis untuk meneguhkan kekuatan negara bangsa.Bahasa Indonesia menjadi instrumen terdepan dan terpenting dalam pendekatan kebudayaan sehingga tidak muncul superioritas atau inferioritas kultural yang bisa mengancam kebhinekaan.
Sekali lagi daulat bahasa, adalah daulat bangsa!