Sorong Serah Aji Kerame, Potret Adat Budaya Suku Sasak

M. Rizwan By M. Rizwan
10 Min Read
- Advertisement -

jf ID – Tak Lebih, jika menyebutkan Pulau Seribu Masjid Lombok juga disebut Pulau Seribu Rangkaian Adat Budaya. Sorong Serah Aji Kerame adalah Puncak acara dari serangkaian prosesi acara adat perkawinan pada masyarakat suku Sasak.

Upacara adat perkawinan Sorong Serah Aji Krama dan pelaksanaannya telah disepakati pada saat pembicaraan Bait Janji (pengambilan janji) oleh pembayun (pembicara adat). Sorong Serah Aji krama terdiri dari dua unsur kata yang berbeda yakni; Sorong Serah dan Aji Krama.

Sorong Serah merupakan kata majemuk yang berarti serah terima, sedangkan Aji Krama terdiri atas kata Aji yang berarti nilai dan krama yang secara harfiah adat atau kebiasaan. Jadi, secara umum, pengertian Sorong Serah Aji Krama bermakna acara serah terima nilai adat yang telah dibiasakan dan di sahkan oleh adat Sasak.

Perspektive lain, juga ada yang berpendapat bahwa istilah Aji Krama berdasarkan pada kata aji dan krama. Aji dimaknakan raja atau datu, sedangkan krama berasal dari kata “kraman” yang bermakna sekumpulan orang-orang Desa pada satu wilayah kesatuan hukum adat.

Ad image

Istilah lain menyebutkan bahwa Aji Krama juga dimaknakan dari kata aji yang berarti bapak dan krama yang berarti adat. Pada pengertian ini, aji krama diartikan bapaknya adat. Oleh karenanya, makna acara sorong serah Aji Krama merupakan prosesi wisuda atau peresmian atas kelahiran keturunan dari sebuah perkawinan. Hal ini dapat dipahami karena masyarakat suku Sasak menganut paham Patrialisme dalam sistem kekeluargaannya.

Nilai sosial (social values) upacara perkawinan adat Sorong Serah Aji Krama ini diungkapkan pula melalui diskripsi tertulis. Gambaran ini, diharapkan dapat dipahami sebagai suatu bentuk pembelajaran bagi masyarakat untuk kemudian dilestarikan sebagai ciri khas dari suku Sasak terkhusus dalam konteks perkawinan.

Nenek moyang suku Sasak, pengungkapan nilai-nilai filosofis dengan diskripsi melalui media, merupakan salah satu alternatif yang digunakan dengan pengungkapan makna yang tersirat di dalam diskripsi tersebut. Misalnya, melalui media benda seperti : bulan, matahari, gunung, dan sebagainya. 

Diskripsi yang dalam upacara ini, menggunakan media benda-benda yang mengandung makna filosofis yang sangat tinggi. Makna filosofis dalam kelengkapan utama upacara ini yang dikemas dalam bentuk benda dengan makna yang terkandung sebagai berikut:

Aji Krama
Besarnya Aji Krama dilakukan berdasarkan pada jumlah hitungan tasbih yang biasa digunakan, yaitu 99, 66, dan 33. Pemberian Aji Krama dengan nilai seperti ini merupakan bentuk penghargaan terhadap kelompok-kelompok masyarakat (strata sosial) sesuai dengan fungsinya di dalam masyarakat (Datu, Raden, Permenak, Purwangse, jajar karang).

Seorang raja, karena memiliki fungsi dan tanggung jawab yang paling besar jika dibandingkan dengan kelompok-kelompok masyarakat lainnya, diberikan penghargaan tertinggi (Datu), demikian juga para pejabat, karena mempunyai fungsi dan tanggung jawab yang lebih besar jika dibandingkan dengan orang-orang biasa/rakyat biasa (jajar karang), diberikan penghargaan yang sesuai dengan fungsi dan tanggung jawabnya. 

Pada awalnya, Aji Krama dalam masyarakat suku Sasak terbagi atas empat tingkatan Aji (Nilai), dengan urutan yang disesuaikan dengan stratifikasi sosial dalam masyarakatnya yakni;

  1. Raden                                       =  99 (dase wisakti/satus)
  2. Permenak                                = 66 (sawidag sawidagsi/enem dase  enem)
  3. Raden                                = 99 (dase wisakti/satus)
  4. Permenak                           = 66 (sawidag sawidagsi/enem dase  enem)
  5. Parwangse                         =  33 (katri dase katri / tigang dase tiga)
  6. Jajar Karang                       =  10,400 (selakse samas)

Kajian nilai Islam (tasbih) yang dimaksud dalam perhitungan pembagian aji karma di atas adalah setiap Aji Krama akan memiliki hasil akhir sama yaitu angka 9. Dalam pandangan masyarakat suku Sasak, angka 9 merupakan nilai kemanusiaan.

Sedangkan nilai 10 sebagai nilai sempurna, adalah nilai yang dimiliki oleh Allah SWT. Artinya, pada dasarnya setiap manusia yang dilahirkan di atas bumi ini adalah sama, yaitu sebagai makhluk Allah yang diutus menjadi khalifah untuk mengatur kehidupan di atas dunia ini.

Menurut pandangan masyarakat suku Sasak, bahwa atas kehendak Allah SWT masing-masing kelompok manusia telah diberikan kemampuan yang berbeda dalam pencapaian tingkat kemanusiaannya. Sehingga, dapat dikemukakan gambaran sebagai berikut;

a) pada waktu dulu, kelompok masyarakat yang memiliki Aji Krama 33 adalah kelompok masyarakat yang dalam kehidupan sehari-hari hanya mengurus kehidupan diri dan keluarganya saja dan hanya menerima segala kebijkan dan aturan pimpinan.

Sehingga, dalam tataran bilangan bacaan tasbih, kelompok masyarakat ini digambarkan memiliki tingkat kemanusiaan hanya pada ucapan “Subhanallah”.

b) kelompok masyarakat yang memiliki bilangan Aji Krama 66, merupakan kelompok masyarakat yang memiliki fungsi sebagai pelaksana kebijakan pimpinan/Raja.

Mereka adalah para pemangku jabatan tertentu dalam masyarakat. Karena memiliki tugas dan fungsi dalam masyarakat, maka kelompok masyarakat seperti ini diberikan dengan Aji Krama 66 sesuai dengan bilangan tasbih kedua.

Masyarakat dengan aji 66 ini digambarkan sebagai kelompok masyarakat yang dalam ucapan tasbih telah mampu mencapai tingkat kemanusiaan hingga ucapan “Subhanallah, Walhamdulillah”. dan

c) kelompok masyarakat tertinggi dalam masyarakat suku Sasak, digambarkan dengan Aji Krama 99. pemberian penghargaan dengan Aji Krama 99 disesuaikan dengan tingkat tugas dan fungsi seorang pimpinan/Raja.

Seorang raja dan keluargaanya merupakan kelompok masyarakat yang memiliki fungsi strategi sebagai pengatur kehidupan bermasyarakat. Mereka adalah penentu kebijakan dan peraturan yang akan menentukan nasib rakyatnya.

Demikian berat tugas dan fungsi seorang raja atau pimpinan, shingga dalam bilangan bacaan tasbih digambarkan sebagai kelompok masyarakat yang telah mencapai tingkat ” Subhanallah, Walhamdulillah, Allahu Akbar.

  1. Pelengkak
    Pelengkak merupakan denda yang dikenakan kepada pihak pengantin laki-laki yang berani mengawini seorang gadis yang masih memiliki kakak belum kawin.
  2. Babas Kuta
    Babas Kuta atau Pembabas Kute merupakan denda yang diwajibkan untuk dibayarkan oleh pihak pengantin laki-laki karena kehadiran mereka pada acara Sorong serah Aji Krama dan Nyongkolan menimbulkan kegaduhan dan keramaian.
  3. Krama Desa
    Karma desa adalah salah satu kewajiban yang harus ditanggung oleh pihak pengantin laki-laki sehubungan dengan telah membawa seorang gadis dari sebuah desa untuk dijadikan istrinya.
  4. Kor Jiwa
    Seperti halnya krama desa, Kor Jiwa juga merupakan salah satu kewajiban yang harus dibayarkan oleh pihak keluarga pengantin laki-laki sebagai bentuk ganti rugi kepada kampung yang telah kehilangan warga sebab sebuah perkawinan.
  5. Pecanangan atau Penginang kuning
    Pecanangan merupakan tempat diletakkannya kapur, sirih, pinang, gambir dan tembakau. Di samping itu, makanan bagi masyarakat suku Sasak merupakan sarana pembinaan solidaritas kelompok masyarakat yang paling menonjol.

Sahabat, kenalan ataupun setiap orang yang datang bertamu, selalu dijamu dengan pecanangan. Sikap dan pola tingkah laku yang demikian itu dibentuk oleh pandangan hidup dan sistem nilai dalam masyarakat yang berazaskan persaudaraan dan kebersamaan. 

  1. Lanjaran
    Dalam acara adat pada masyarakat suku Sasak, Lanjaran atau rokok merupakan perlengkapan adat yang harus tetap ada.  Biasanya, rokok yang digunakan dalam acara adat adalah rokok yang terbuat dari tembakau dilapisi dengan daun jagung. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, Lanjaran atau rokok diganti dengan rokok yang ada pada saat sekarang ini.

Kebanggaan saya terhadap tradisi ini adalah tidak akan terlepas dari bentuk pengungkapan terhadap nilai-nilai sosial dan agama yang diungkapkan melalui penggambaran-penggambaran, baik dalam bentuk benda maupun pemakaian  bahasa. Di samping itu, Pembagian Aji Krama memiliki hubungan yang erat dengan masuknya agama Islam di pulau Lombok. 

Nilai baik yang terdapat dalam tradisi Sorong Serah ini adalah dalam pembagian aji krame yaitu merupakan nilai kebiasaan yang diberikan kepada kelompok-kelompok masyarakat sebagai bentuk penghargaan terhadap status sosial yang dimiliki. Pembagian Aji Krama pada masyarakat suku Sasak berdasarkan pembagian tingkatan kelompok masyarakatnya. Pembagian tingkatan masyarakat ini dinamakan kasta atau dalam ilmu sosiologi dikenal dengan istilah Stratifikasi Sosial.

Sebagai generasi muda, kita harus bangga dan bisa menjadi penerus untuk melestarikan kebudayaaan-kebudayaan yang ada di suku Sasak ini, supaya ciri khas kebudayaan tidak luntur oleh waktu dan tidak lekang oleh perubahan zaman.

Sumber: 1. Buku Adat Desa Mangkung, Kecamatan Praya Barat Lombok Tengah.
2. Keterangan dari Tokoh Adat Lalu Nurasin, (Pembayun) Tokoh adat Desa Mangkung

- Advertisement -
TAGGED:
Share This Article