Brunei, LGBT dan Keyakinan

Citra Dara Trisna By Citra Dara Trisna
7 Min Read
Hukuman bagi kaum LGBT di Brunei (foto: istimewa)
Hukuman bagi kaum LGBT di Brunei (foto: istimewa)
- Advertisement -

Jurnalfaktual.id, – Saya tidak heran bila Brunei Darusalam hendak menghukum mati para LGBT. Mengapa? Mungkin karena dunia selalu menghadirkan kelucuan-kelucuan yang sebenarnya dapat digunakan untuk bercermin. Negara sekaliber Inggris—yang tentu saja mengakomodasi kebebasan LGBT—pada akhirnya dibuat pusing dengan penerapan syariat Islam di Brunei.


Tentu saja hukuman ini membuat Inggris (penjajah) murka. Pemerintah Inggris segera mengingatkan agar warganya yang tinggal di Brunei tidak diganggu dan terkena aturan itu. Tapi, perlukah LGBT dibela agar Brunei tetap kondusif? Atau memilih jalan yang kedua: tetap berdaulat dan menerapkan syariat Islam. Untuk itu, mungkin negara kesultanan ini perlu belajar pada sejarah penjajahnya terdahulu. Karena setiap negara yang membenarkan kekejaman pada para LGBT selalu bicara tentang esok: peradaban dan bom waktu yang meledak.


Di Kerajaan Inggris abad pertengahan: bom waktu itu ditanam sendiri oleh Edward II. Perkenalannya dengan Piers Gaveston, putra seorang kesatria rumah tangga istana Kerajaan Inggris, memberi warna yang berbeda di istana. Keduanya pun segera akrab. Dan benar saja, cinta yang terhalang ketebalan tembok norma-norma istana dan gereja, akan meledak di waktu yang tepat.


Hubungan keduanya menimbulkan rumor tak sedap di istana. Bau busuk skandal segera menguar, terutama tentang penyimpangan seksual Edward II. Konon, bukti yang menguatkan hubungan asmara dua pria muda itu adalah ketika Edward II meminta pada ayahnya, Raja Edward I, menyerahkan kekuasaan di wilayah Pothieu pada Piers. Sang raja melihat permintaan putranya itu sebagai sesuatu yang tak masuk akal. Rasa murka raja membuatnya tega menjambak rambut Edward II hingga tercabut dari kepala serta menghukum buang Piers.

Ad image


Kemarahan Edward I pada putranya berbuntut panjang. Citra Edward II, baik di mata bangsawan istana dan juga rakyat Inggris, menurun drastis. Tentu saja ini lumrah. Percintaan sesama jenis terjadi di masa-masa gereja belum melunak. Di masa itu, homoseksual adalah aib yang tak termaafkan. Apa yang dilakukan dua pria itu dianggap sama berdosanya dengan melakukan bidah.


Nama baik Edward II di mata rakyat dan pembesar istana tak kunjung membaik. Meski Edward II dan Piers sama-sama menikahi perempuan dan memiliki anak. Bahkan citra Edward II juga tak kunjung membaik ketika ia dinobatkan sebagai Raja Inggris menggantikan ayahnya.


Ledakan bom waktu itu terjadi ketika Piers ditangkap oleh Earl Warwick, kemudian diadili dan dieksekusi di Bukit Blacklow. Edward II, tak bisa diam dengan kejadian itu. Ia bersumpah untuk membalas dendam atas kematian Piers. Meski tak jadi membalas dendam, kematian Piers jadi pemanas konflik yang terjadi.


Kemudian di tahun 1327 yang naas, Edward II dibunuh dengan cara yang sadis di Kastil Berkeley. Perintah pembunuhan ini justru datang dari istrinya, Isabelle, putri Raja Prancis, Phillipe IV. Nampaknya Isabelle—perempuan yang diperistri ketika usianya masih 12 tahun—telah lama menahan sakit hati atas apa yang dilakukan suaminya.


Meski banyak yang mengatakan apa yang menimpa Edward adalah murni pembunuhan politik: upaya Isabelle mengangkat putranya, Edward III, naik tahta. Tapi banyak yang menyebut Isabelle sakit hati lantaran suaminya lebih mencintai para gundik prianya. Eksekusi mati Edward II juga dinilai wajar lantaran dianggap sebagai raja terburuk dalam sejarah Inggris di mana menimbulkan banyak bencana bagi Inggris. Yang jelas, abad pertengahan adalah masa di mana gereja senang mengait-ngaitkan antara bidah dengan berbagai bencana yang menimpa negerinya.


Dari kisah Edward II, dapat dilihat bila Inggris pun pernah menjadi sangat barbar dengan pelaku homoseksual. Dan setelah Gereja bukan lagi jadi pertimbangan politik di Inggris, maka LGBT mendapat tempatnya.

Kehadirannya terpaksa harus diterima dengan alasan kemanusiaan. Pun di negara-negara lain di Eropa, pelaku homoseksual dihabisi, baik secara kualitatif juga secara kuantitatif.


Tapi, mulai tahun 2015, banyak negara-negara Eropa yang mendadak memberikan restu dan mengakomodasi hak-hak kaum LGBT. Tapi, di tahun-tahun ketika banyak negara melegalkan LGBT, Gambia justru bersikap keras. Sang presiden, Yahya Jammeh, justru mengancam menyembelih para pelaku homoseksual. Ia tak takut dikecam dunia internasional.


Keyakinan Jammeh pada hukum Islam—yang melarang perilaku seks yang tak lumrah—membuat presiden muda ini terus dimusuhi, berusaha dijatuhkan, dan diancam. Bantuan untuk negara kecil ini pun dipotong karena pernyataannya yang kontroversial. Jammeh tak bergeming, mungkin bantuan yang terpotong itu tak sebanding dengan ancaman Tuhan sebagaimana kisah Nabi Luth.


Terkait penerapan syariat Islam di Brunei—terutama hukuman mati bagi kaum LGBT—yang ditentang banyak pihak, tampaknya mengendurkan nyali sang sultan. Ya, negara bekas jajahan akan lebih mendengar tuannya lebih dari keyakinan pribadinya tentang keharusan penerapan syariat Islam. Mungkin sebagaimana Inggris yang meninggalkan Gereja sebagai salah satu pertimbangan moral, sultan pun nampaknya bakal sedikit lebih kendor demi stabilitas.


Di tengah kemerosotan kedaulatan manusia dan negara, saya angkat topi pada Jammeh. Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Bukan stabilitas yang penting. Bukan pula ancaman ditinggalkan modal multi nasional dan intervensi. Manusia di dalamnya masih sibuk berhitung citra yang muncul ke permukaan usai menentukan sikap. Kemanusiaan serta berbagai standar ganda di dalamnya tetap jadi sebaik-baik alasan untuk berkilah dan tak punya sikap yang jelas.


Mungkin modernisme benar-benar telah lahir: sebuah masa di mana Gereja dan syariat telah jadi mitos. Maka ucapkan selamat tinggal pada kedaulatan dan keyakinan. Dan sepertinya filsuf gila dari Jerman itu benar: Tuhan telah mati, dan kita adalah pembunuhnya.

Jakarta, September 2019

Tentang Penulis: Citra D. Vresti Trisna, Esais Indonesia dan seorang Jurnalis lepas. Saat ini tinggal dan menetap di Jakarta.

- Advertisement -
Share This Article