Dekadensi moral anak bangsa akan terjadi apabila lembaga pendidikan tidak pernah mengajarkan tentang akhlaq pada siswanya. Mungkin statement ini akan dianggap sebuah kritikan, atau bisa juga dianggap sebagai bahan evaluasi bahwa, kita lemah dalam mendidik anak bangsa menjadi lebih baik.
Tujuan daripada adanya pendidikan adalah mendidik dan membagun karakter anak bangsa. Sang bapak pendidikan Ki Hajar Dewantara pun mengatakan bahwa:
“pendidikan haruslah memerdekakan kehidupan manusia. Pendidikan mesti disadarkan pada penciptaan jiwa merdeka, cakap dan berguna bagi masyarakat” (Rusdianto Alit Amoersetya, www.berdikarionline.com, (09/07/2012).
Sia-sialah pendidikan diadakan, apabila akhlaq tidak juga diajarkan. Saat ini, telah terjadi yang namanya dekadensi moral, contohnya: murid membunuh gurunya dan banyak lagi insiden yang terjadi, padalah kalau kita mau merenung tentang bangsa ini.
Bangsa ini yang dibangun dengan penuh perjuangan, melawan penjajah atas dasar kesadaran bahwa kemerdekaan yang kita miliki telah direnggut, banyak organisasi didirikan sebagai representasi perjuangan rakyat, diantaranya; Indische Partij (IP), Budi Oetomo(BO), Sarekat Dagang Islam (SDI), Sarekat Islam (SI), perhimpunan Indonesia (PI), Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah dan lain-lain.
Tapi kita harus ingat, dimana ada perjuangan disitulah air mata tangis membanjiri semesta, darah-darah tiada henti bercucuran, mayat-mayat bergelimpangan, jeritan tangis di alam kubur pun terdengar. Jika saya bertanya, untuk apa mereka melakukan itu semua? Untuk Kita.
Sadar atau tidak, kita dijajah karena tidak mau mempelajari banyak hal dan tidak mencoba berfikir rasional, karena terlau banyak bertahayul sehingga mudah untuk ditipu, jika mudah ditipu, maka mudah untuk dibodohi, jika berhasil, maka penjajahan dimulai, dan saatnya yang licik akan menguasai medan. Ini bukan teori yang kemudian harus dibenarkan keberadaan nya, tetapi jika melihat realitanya seperti itu, saya pun berfikir bahwa, menjajah orang lain itu sangatlah mudah, hanya dengan melakukan perbuatan licik, selesai.
Semua itu adalah pengaruh daripada pendidikan yang tanpa diajarkan ilmu tingkah laku (Akhlaq). Seperti apa pengaruh pendidikan?
“apabila yang mendidik tepat, secara otomatis yang dididik juga akan tepat cara berfikir dan mengimplementasikan nya, begitupun juga sebaliknya”, contohnya para penjajah yang sama sekali tidak memiliki hati nurani dan harga diri. Segala cara ditempuh untuk mendapatkan apa yang kemudian diinginkan.
“Pendidikan itu penting”, Bung Hatta mengatakan demikian pada Bung Karno saat berdebat soal apa yang harus lebih dulu diutamakan, pendidikan atau kemerdekaan?. “Didik dulu baru merdeka” ucap bung Hatta, akan tetapi Sukarno yang keras kepala mengatakan “merdeka dulu baru dididik”.
Bagaimana mungkin merdeka lebih diutamakan jika rakyatnya pada bodoh? kalau menggunakan analogi “kumpulkan apelnya, baru berfikir akan diolah seperti apa apel tersebut” tidak ada yang salah dalam analogi ini, namun yang menjadi pertanyaan, yang akan mengolah, masih berfikir seperti sediakala atau tidak?
Jika iya, kira kira sampai mana apel tersebut diolah? Ada dua kemungkinan yang kemudian saya fikirkan, pertama, dibiarkan begitu saja, kedua, diolah tapi tidak tuntas. Berbeda halnya jika tidak, maka akan berbahya, ibarat “berani melakukan tapi tidak mau bertanggung jawab”.
Seandainya bung Karno pada waktu itu menerima pendapat bung Hatta, dan mau mengalah demi kemaslahatan orang banyak, maka yang akan terjadi, bangsa ini masih memiliki kehormatan dan harga diri, sebab pendidikan lebih diutamakan daripada kemerdekaan yang belum pasti arah dan tujuannya ke mana.
Sebelum hari-hari kemerdekaan itu tiba, seorang intelektual muda dari Minangkabau menjadi sorotan di seluruh penjuru negeri, ia mendirikan SR (Sekolah Rakyat), menulis buku-buku, diantaranya yang paling fenomenal hingga saat ini yaitu MADILOG, siapa dia? Datuk Ibrahim (Tan Malaka), yang sudah jauh berbicara soal pentingnya pendidikan sebelum Bung Hatta mengatakan itu.
“kemerdekaan rakyat hanya bisa diperoleh dengan pendidikan kerakyatan.” Tan Malaka, SI Semarang dan Onderwijs (1921). Memahami kalimat yang disampaikan Tan begitu mudah, tidak ada ambiguitas yang kemudian membingungkan pembaca dalam menginterpretasikannya.
Berfikir yang pragmatis, sangat diperlukan ketika dalam situasi yang mendesak, tetapi apalah artinya jika tak mempertimbangkan sesuatu hal buruk yang akan terjadi di masa yang akan datang.
Tentang Penulis: Unadi Neda Abiel Haq, Seorang Pemikir di Universitas Trunojoyo Madura