jfid – Belakangan ini, istilah “tobrut” menjadi perbincangan hangat di media sosial dan dalam kehidupan sehari-hari.
Istilah ini, yang merujuk pada bagian tubuh perempuan secara merendahkan, telah menciptakan kontroversi besar di Indonesia.
Kasus terbaru melibatkan seorang pelayan restoran di Jakarta yang dipecat karena menuliskan kata “tobrut” pada tagihan pelanggan, memicu diskusi tentang pelecehan seksual nonfisik dan implikasi hukumnya.
Pelecehan Seksual Nonfisik
Pelecehan seksual nonfisik mencakup tindakan yang mengarah pada tubuh, keinginan seksual, dan organ reproduksi seseorang dengan maksud merendahkan harkat dan martabatnya.
Menurut Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Siti Aminah Tardi, penggunaan istilah “tobrut” adalah bentuk dari perhatian atau perilaku seksual yang tidak diinginkan.
Tindakan semacam ini tidak hanya merugikan secara emosional dan psikologis, tetapi juga memperkuat budaya objektifikasi terhadap perempuan.
Aspek Hukum
Di Indonesia, pelecehan seksual nonfisik diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) Nomor 12 Tahun 2022.
Pasal 5 dari undang-undang ini mengatur bahwa tindakan seksual nonfisik dapat diancam dengan pidana penjara hingga 9 bulan dan/atau denda maksimal Rp 10 juta.
Undang-undang ini mencakup berbagai bentuk pelecehan seksual nonfisik, termasuk pernyataan, gerak tubuh, dan aktivitas lain yang merendahkan seseorang berdasarkan seksualitasnya.
Namun, perlu dicatat bahwa pelecehan seksual nonfisik dikategorikan sebagai delik aduan.
Ini berarti proses hukum hanya bisa dilakukan jika ada laporan dari korban. Dalam praktiknya, ini bisa menjadi hambatan karena banyak korban yang enggan melapor akibat stigma sosial dan ketakutan akan dampak lebih lanjut.
Pendekatan Sosial
Selain penanganan hukum, pendekatan sosial melalui pendidikan publik sangat penting untuk mengatasi masalah pelecehan seksual nonfisik.
Edukasi yang meningkatkan kesadaran tentang pentingnya menghormati tubuh dan keunikannya serta menghindari objektifikasi adalah langkah kunci dalam menciptakan perubahan budaya.
Siti Aminah Tardi menekankan pentingnya membangun kesadaran saling menghormati dan tidak menjadikan tubuh sebagai objek ejekan atau perundungan.
Kasus “Tobrut”
Kasus pelayan restoran di Jakarta yang menuliskan kata “tobrut” pada tagihan pelanggan mencerminkan masalah yang lebih besar dalam masyarakat.
Ini bukan hanya tentang satu tindakan yang tidak pantas, tetapi tentang budaya yang lebih luas yang memungkinkan pelecehan seksual nonfisik terjadi.
Kejadian ini menunjukkan bahwa meskipun ada undang-undang yang mengatur, masih ada kebutuhan mendesak untuk perubahan sosial yang lebih luas.
Upaya Kolaboratif
Mengatasi pelecehan seksual nonfisik memerlukan upaya kolaboratif dari berbagai pihak.
Pemerintah perlu memperkuat penegakan hukum dan memastikan bahwa korban mendapatkan dukungan yang diperlukan untuk melaporkan insiden.
Lembaga pendidikan dan organisasi masyarakat sipil harus terus mengedukasi publik tentang pentingnya menghormati orang lain dan dampak negatif dari pelecehan seksual nonfisik.
Kesimpulan
Pelecehan seksual nonfisik seperti penggunaan istilah “tobrut” adalah masalah serius yang memerlukan perhatian hukum dan sosial.
Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) memberikan landasan hukum yang penting, tetapi penegakan hukum yang efektif dan pendidikan publik yang berkelanjutan sangat penting untuk menciptakan perubahan budaya yang diperlukan.
Dengan pendekatan kolaboratif, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih menghormati dan menghargai setiap individu, terutama perempuan, dan mengakhiri budaya objektifikasi yang merendahkan.