jfid – Kedatangan Darni (43) dan Nur Aini (38) di Asrama Haji Sudiang, Makassar, pada Minggu, 23 Juni 2024, menjadi sorotan.
Bukan karena cerita spiritual dari perjalanan mereka ke Tanah Suci, tetapi karena penampilan nyentrik dan glamor mereka.
Keduanya tampil dengan pakaian mispa berwarna pink, pakaian haji khas Bugis Makassar serta kalung emas yang mencolok.
Darni membawa pulang 20 gram emas, sementara Nur Aini memilih 25 gram emas, keduanya dibeli di Arab Saudi dengan harga yang tidak main-main, sekitar Rp 1.200.000 per gram.
Simbol Status atau Kenangan Suci?
“Emasnya beli di Arab, asal ada kenang-kenangan dari Tanah Suci,” kata Darni kepada Kompas.com dengan nada santai. Nur Aini menimpali, “Saya total 25 gram.” Seolah emas menjadi oleh-oleh standar dari perjalanan haji.
Namun, apakah ini mencerminkan sebuah tradisi atau sekadar tren konsumtif yang berkembang di kalangan jemaah haji? Di satu sisi, membawa pulang oleh-oleh dari Tanah Suci adalah hal yang wajar dan telah menjadi kebiasaan.
Di sisi lain, ada elemen pamer yang tidak bisa diabaikan.
Menurut Darni, pakaian mispa pink yang dikenakan memang telah dirancang khusus di Makassar sebelum keberangkatan.
“Pakaiannya dibawa dari Makassar dirancang khusus, sudah diniatkan dipakai saat pulang ibadah haji.
Pakaian begini sudah tradisi apalagi di pulau,” pungkasnya.
Bukan hal yang aneh jika jemaah haji ingin tampil beda saat pulang.
Ritual ini menjadi ajang bagi mereka untuk menunjukkan pencapaian spiritual sekaligus material.
Namun, di era media sosial, di mana setiap momen bisa diabadikan dan dibagikan, ritual ini bisa bertransformasi menjadi ajang pamer kemewahan.
Sosiolog Universitas Hasanuddin, Dr. Andi Syamsul Bahri, mengamati fenomena ini dengan seksama.
“Ada pergeseran makna dari perjalanan haji. Dulu, haji adalah perjalanan spiritual dan fisik yang berat.
Kini, dengan kemudahan transportasi dan akses informasi, aspek material sering kali lebih ditonjolkan,” ungkapnya.
Tidak bisa dipungkiri, haji adalah bisnis besar. Dari paket perjalanan hingga oleh-oleh, semuanya memiliki harga.
Menurut data Kementerian Agama, biaya perjalanan haji reguler tahun ini berkisar antara Rp 35 juta hingga Rp 40 juta per orang.
Ini belum termasuk oleh-oleh dan pernak-pernik yang dibeli di Arab Saudi.
“Memang, emas menjadi salah satu pilihan oleh-oleh yang populer. Selain bernilai tinggi, emas juga dianggap sebagai investasi yang menguntungkan,” jelas Nur Aini.
Namun, di balik gemerlap oleh-oleh ini, ada risiko yang mengintai.
Kementerian Perdagangan RI pernah mengeluarkan peringatan terkait maraknya penjualan emas palsu di kawasan Tanah Suci.
Jemaah haji diminta lebih berhati-hati dan memastikan keaslian emas yang dibeli.
Tradisi vs Tren
Penampilan Darni dan Nur Aini mencerminkan dilema antara memelihara tradisi dan mengikuti tren konsumtif.
Di satu sisi, pakaian mispa dan emas menjadi simbol kebanggaan dan kenangan dari Tanah Suci.
Di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa haji lebih sering menjadi ajang pamer kemewahan daripada penghayatan spiritual.
Sociologist Zainuddin Maliki menyebutkan, “Masyarakat kita memiliki kebiasaan untuk menunjukkan status sosial mereka melalui atribut fisik.
Pakaian dan perhiasan dari perjalanan haji adalah bagian dari itu. Namun, kita harus selalu mengingat esensi dari perjalanan haji itu sendiri, yaitu peningkatan kualitas spiritual.”
Akankah Glamoritas Ini Berlanjut?
Fenomena jemaah haji tampil glamor mungkin akan terus berlanjut seiring dengan meningkatnya daya beli masyarakat dan pengaruh media sosial.
Yang menjadi pertanyaan, bagaimana kita bisa menjaga esensi spiritual haji di tengah maraknya budaya konsumtif?
Menarik untuk ditunggu, apakah di masa mendatang akan ada perubahan dalam cara jemaah haji mengekspresikan kebahagiaan mereka setelah kembali dari Tanah Suci.
Akankah mereka tetap memilih menunjukkan rasa syukur dengan cara yang sederhana atau justru semakin glamor?
Yang pasti, Darni dan Nur Aini telah memberikan kita refleksi menarik tentang bagaimana perjalanan suci yang semestinya menjadi momen introspeksi spiritual bisa berubah menjadi ajang unjuk kemewahan.
Di balik senyum mereka yang merekah, tersimpan cerita kompleks tentang tradisi, identitas, dan budaya konsumtif di era modern ini.
(dikutip dari laman web kompas.com) salam jfid.