jfid – Demokrasi di Indonesia telah melalui perjalanan panjang dan berliku, mulai dari era Orde Lama, Orde Baru, hingga era Reformasi yang kita nikmati sekarang.
Salah satu tonggak penting dalam perjalanan tersebut adalah pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat, yang dimulai pada tahun 2004.
Usulan untuk mengembalikan pemilihan presiden oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) bukan hanya sebuah langkah mundur, tetapi juga ancaman serius bagi demokrasi di Indonesia.
Artikel ini akan membahas mengapa usulan tersebut harus ditolak berdasarkan alasan-alasan empiris dan yuridis.
Latar Belakang Pemilihan Presiden di Indonesia
Sebelum era Reformasi, presiden Indonesia dipilih oleh MPR.
Proses ini dianggap tidak demokratis karena tidak melibatkan partisipasi langsung dari rakyat.
Reformasi 1998 membawa banyak perubahan, termasuk amandemen UUD 1945 yang memungkinkan rakyat untuk memilih presiden secara langsung.
Langkah ini dilihat sebagai upaya untuk memperkuat demokrasi dan meningkatkan akuntabilitas pemimpin negara terhadap rakyat.
Ancaman terhadap Demokrasi: Perspektif Empiris
1. Mengurangi Partisipasi Politik
Pemilihan presiden oleh MPR akan mengurangi partisipasi politik masyarakat.
Demokrasi modern menuntut keterlibatan aktif warga negara dalam proses pemilihan pemimpin mereka.
Ketika presiden dipilih oleh MPR, rakyat kehilangan suara mereka dalam menentukan arah kepemimpinan negara.
Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa partisipasi politik yang rendah dapat menimbulkan apati dan ketidakpercayaan terhadap sistem politik.
2. Rentan terhadap Manipulasi Politik
Pemilihan oleh MPR membuka celah yang lebih besar untuk manipulasi politik.
Dalam sistem ini, anggota MPR yang jumlahnya relatif sedikit dibandingkan dengan jumlah pemilih dalam pemilihan langsung, menjadi sasaran empuk bagi berbagai bentuk lobi, tekanan, dan bahkan korupsi.
Hal ini dapat mengakibatkan pemilihan pemimpin yang tidak mencerminkan kehendak rakyat, melainkan hasil dari permainan politik di belakang layar.
3. Mengurangi Akuntabilitas Presiden
Pemilihan langsung oleh rakyat membuat presiden lebih akuntabel kepada pemilihnya.
Jika pemilihan dilakukan oleh MPR, akuntabilitas presiden akan lebih kepada para anggota MPR daripada kepada rakyat.
Ini dapat mengaburkan garis tanggung jawab dan membuat presiden kurang sensitif terhadap kebutuhan dan aspirasi rakyat.
Perspektif Yuridis
1. Pelanggaran Prinsip Kedaulatan Rakyat
Konstitusi Indonesia mengamanatkan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat.
Mengembalikan pemilihan presiden kepada MPR bertentangan dengan prinsip dasar ini.
UUD 1945, yang telah diamandemen, menegaskan bahwa presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat.
Usulan untuk mengubah mekanisme ini akan membutuhkan amandemen konstitusi, yang berarti mengabaikan kehendak konstituante yang telah menetapkan kedaulatan rakyat sebagai fondasi demokrasi Indonesia.
2. Bertentangan dengan Semangat Reformasi
Era Reformasi menandai perubahan signifikan dalam tata kelola pemerintahan Indonesia, termasuk desentralisasi kekuasaan dan peningkatan partisipasi publik dalam politik.
Mengembalikan pemilihan presiden kepada MPR berarti mengabaikan semangat Reformasi yang bertujuan untuk menciptakan pemerintahan yang lebih transparan, akuntabel, dan demokratis.
3. Potensi Konflik Konstitusional
Mengubah mekanisme pemilihan presiden bisa menimbulkan konflik konstitusional yang serius.
Proses amandemen konstitusi bukanlah hal yang mudah dan membutuhkan konsensus luas.
Perubahan yang kontroversial seperti ini dapat memicu ketidakstabilan politik dan hukum, serta mengurangi legitimasi pemerintahan.
Analisis Komparatif: Studi Kasus Internasional
Melihat pengalaman negara lain dapat memberikan wawasan tambahan mengenai bahaya mengembalikan pemilihan presiden kepada badan legislatif.
1. Rusia
Di Rusia, presiden dipilih secara langsung, tetapi pengaruh legislatif dan elite politik sangat kuat dalam proses politik.
Hal ini menyebabkan demokrasi yang “terkelola” di mana pemilihan umum seringkali dipenuhi dengan tuduhan kecurangan dan manipulasi.
Pengalaman Rusia menunjukkan bagaimana kekuatan politik yang terkonsentrasi dapat merusak demokrasi meskipun pemilihan langsung diterapkan.
2. Amerika Serikat
Amerika Serikat, dengan sistem Electoral College-nya, menunjukkan bagaimana pemilihan presiden tidak langsung dapat memunculkan masalah legitimasi.
Meskipun berbeda dengan sistem pemilihan oleh parlemen, Electoral College telah beberapa kali menghasilkan presiden yang tidak memenangkan suara mayoritas rakyat, menimbulkan pertanyaan mengenai representasi dan keadilan demokratis.
3. Sistem Parlementer di Inggris
Di Inggris, perdana menteri dipilih oleh anggota parlemen.
Meskipun sistem ini stabil, ada kekhawatiran tentang keterputusan antara pemimpin negara dan kehendak langsung rakyat.
Ketidakpuasan terhadap elite politik dapat tumbuh jika pemimpin dipilih tanpa partisipasi publik langsung, yang bisa terjadi juga di Indonesia jika pemilihan presiden dikembalikan kepada MPR.
Argumen Penolakan: Perspektif Akademis dan Masyarakat Sipil
Para akademisi dan organisasi masyarakat sipil di Indonesia sebagian besar menolak usulan pemilihan presiden oleh MPR.
Mereka berpendapat bahwa hal ini akan mengurangi kualitas demokrasi dan mengancam hak politik rakyat.
1. Pendapat Akademisi
Banyak akademisi berpendapat bahwa pemilihan langsung adalah bentuk paling murni dari demokrasi.
Mereka menekankan bahwa pemilihan oleh MPR hanya akan menguntungkan elite politik dan merugikan rakyat biasa.
Kajian akademis menunjukkan bahwa sistem pemilihan langsung meningkatkan legitimasi pemimpin dan memperkuat hubungan antara pemerintah dan rakyat.
2. Suara Masyarakat Sipil
Organisasi masyarakat sipil juga bersuara keras menentang usulan ini.
Mereka mengingatkan bahwa Reformasi 1998 adalah hasil perjuangan panjang untuk demokrasi yang lebih baik.
Mengembalikan pemilihan presiden kepada MPR dianggap sebagai pengkhianatan terhadap semangat Reformasi dan perjuangan rakyat Indonesia untuk demokrasi.
Mengembalikan pemilihan presiden oleh MPR merupakan langkah mundur yang berpotensi merusak demokrasi di Indonesia.
Dari perspektif empiris, hal ini akan mengurangi partisipasi politik, meningkatkan risiko manipulasi, dan mengurangi akuntabilitas presiden.
Dari perspektif yuridis, ini melanggar prinsip kedaulatan rakyat, bertentangan dengan semangat Reformasi, dan berpotensi menimbulkan konflik konstitusional.
Studi kasus internasional menunjukkan bahwa sistem pemilihan tidak langsung seringkali memunculkan masalah legitimasi dan keterputusan antara pemimpin dan rakyat.
Pendapat akademisi dan masyarakat sipil juga menegaskan bahwa pemilihan langsung adalah pilar penting demokrasi yang harus dipertahankan.
Oleh karena itu, usulan untuk mengembalikan pemilihan presiden oleh MPR harus ditolak demi menjaga dan memperkuat demokrasi Indonesia yang telah diperjuangkan dengan susah payah.
Rakyat Indonesia harus tetap menjadi penentu utama dalam memilih pemimpin mereka, sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi dan semangat Reformasi.